Selasa, 17 Juni 2014

MATERI AJAR PPD

PENDAHULUAN Keyakinan akan ketidakberdayaannya dalam memenuhi semua tuntutan kebutuhan pendidikan dan pembelajaran anak-anaknya mendorong para orang tua berbondong-bondong menyerahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anak-anaknya kepada para guru. Orang tua mengantarkan dan mendaftarkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah tertentu karena mereka yakin bahwa guru-guru pada sekolah tersebut mampu memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang tidak dapat diberikannya di rumah. Para guru, pada gilirannya, menerima pelimpahan wewenang dan tanggung jawab para orang tua tersebut dengan kesediaan menjadi ‘orang tua kedua’ bagi para anak didik. Sapaan ‘Ibu Guru’ dan ‘Bapak Guru’ yang terus dikumandangkan para anak didik ketika berpapasan dengan gurunya mengindikasikan kedekatan relasi (hubungan) antara dua pribadi yang saling mengandaikan keberadaannya itu. Guru dan anak didik merupakan dua pribadi yang saling mengandaikan. Guru mengandaikan anak didik. Tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek didik, ‘guru’ hanyalah sebuah istilah tanpa makna. Anak didik, sebaliknya, mengandaikan ‘guru’ sebagai ‘orang tua keduanya’ karena tanpa kehadiran guru sebagai pendidik, ‘anak didik’ hanya sebuah istilah yang tidak berdasar. Menurut pandangan konstruktivisme, kehadiran guru dan anak didik di dalam kelas lebih dari sekedar ‘guru mengajar’ dan ‘anak didik belajar’. Mengajar merujuk kepada bagaimana guru membelajarkan anak didik. Artinya, guru mengondisikan anak didik sedemikian rupa sehingga terjadi suatu peristiwa belajar. Dalam kerangka pemikiran ini, guru belum dapat dikatakan ‘mengajar’ apabila anak didik belum bisa ‘belajar’. William H. Burton (dalam Desmita, 2009) mengatakan bahwa mengajar merupakan sebuah upaya memberikan rangsangan, dorongan, pengarahan, dan bimbingan kepada anak didik agar terjadi proses belajar. Mengajar berarti mengorganisasi aktivitas anak didik dan memberi fasilitas belajar yang dibutuhkan sehingga mereka dapat belajar dengan baik. Berdasarkan pandangan tersebut, menjadi guru yang ideal tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan menguasai materi pembelajaran yang akan diajarkan. Karena, dalam konteks pembelajaran, materi pembelajaran hanyalah perangsang tindakan guru dalam memberikan dorongan belajar yang diarahkan pada pencapaian tujuan belajar. Dalam kerangka berpikir ini, guru harus membekali dirinya dengan sejumlah pengetahuan dan kemampuan lain yang sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan tugasnya. Hal ini sangat penting karena dalam menjalankan tugasnya, guru berhadapan dengan manusia dan bukan benda mati. Manusia (anak didik) yang dihadapi guru itu sangat beragam dalam latar belakang (sosial, ekonomi, dan budaya) dan tingkat perkembangan kepribadian (tingkah laku, minat, bakat, dan kecerdasan). Secara umum perkembangan anak didik dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek perkembangan, yaitu (a) perkembangan fisik, (b) perkembangan kognitif, dan (c) perkembangan psikososial (Desmita, 2009). Keterangan tentang aspek-aspek perkembangan tersebut adalah sebagai berikut.  Perkembangan Fisik Istilah lain untuk perkembangan fisik adalah pertumbuhan biologis atau biological growth. Pertumbuhan biologis mencakup: (a) pertumbuhan organ tubuh, seperti partumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi badan; (b) perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c) perubahan dalam kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, penglihatan, dan pendengaran.  Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif sering kali dikenal dengan sebutan ‘perkembangan intelektual’.Tokoh utama pengembang teori perkembangan kognitif adalah Jean Piaget. Perkembangan kognitif merupakan proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana seorang anak mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, memikirkan, dan menilai lingkungannya. Perkembangan kognitif merujuk kepada perubahan aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan, keterampilan berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seorang anak memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, merencanakan masa depan.  Perkembangan psikososial Dengan perkembangan psikososial merujuk kepada perubahan emosi dan kepribadian serta kemampuan anak didik untuk membangun relasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam proses perkembangan ini, anak didik diharapkan mampu memahami orang lain. Artinya, anak mampu menggambarkan ciri-ciri orang yang dijumpainya, mengenali apa yang dipikirkan, dirasakan dan diinginkan oleh orang tersebut, serta mampu menempatkan diri pada sudut pandang orang lain, tanpa harus kehilangan jati dirinya. Untuk dapat menghadapi dan membelajarkan anak didik dengan berbagai latar belakang dan tingkat perkembangan yang sangat bervariasi, guru perlu mengenal secara lebih mendalam tentang berbagai hal yang berkaitan dengan anak didiknya, antara lain: kemampuan awal yang dimiliki (entry behavior), motivasi belajar, dan latar belakang sosial-ekonomi anak didik. Kesiapan guru dalam mengenal karakteristik anak didik dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran (Sagala, 2000). Adanya keharusan guru mengenal karakteristik anak didik ‘mewajibkan’ guru untuk mendalami dan menguasai psikologi perkembangan anak didik. Proses pendidikan hanya dapat dilakukan secara benar dan tepat sasaran jika para guru memiliki kemampuan dan gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang manusia yang dididiknya (Tirtarahardja dan La Sulo, 2005). Interaksi antara guru dan para anak didik merupakan komponen terpenting di dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Hinde (dalam Elliot, dkk., 1996) mengatakan bahwa 'interaksi antara guru dan anak didik' itu sebagai kondisi dasar yang harus terjadi dalam setiap proses pembelajaran. Banyak penelitian membuktikan bahwa perilaku dan prestasi para anak didik banyak ditentukan oleh guru-gurunya. Hasil penelitian Frazee & Rudnitski (1995) mengungkapkan bahwa guru-guru yang berperilaku positif cenderung memiliki anak didik yang berprestasi tinggi. Guru-guru yang mampu menciptakan iklim belajar yang baik dan kondusif dan selalu berusaha melibatkan para anak didik di dalam proses pembelajaran cenderung menguntungkan dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran, yaitu ketuntasan belajar para anak didik. BAB I HAKIKAT PERKEMBANGAN 1. Konsep Perkembangan Istilah perkembangan itu sangat kompleks karena mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia. Kekompleksan istilah perkembangan tersebut antara lain terungkap dalam batasan atau pun definisi yang bervariasi tentang perkembangan. Artinya, belum ada satupun batasan ataupun definisi tentang perkembangan yang diterima secara universal dan univok oleh para ahli psikologi. Dalam buku ini penulis hanya menampilkan beberapa di antaranya sebagai berikut. • Menurut Seifert & Hoffnung (1994) Perkembangan adalah perubahan jangka panjang yang terjadi dalam pertumbuhan pribadi seorang manusia yang mencakup perasaan, pola berpikir, relasi sosial, dan berbagai keterampilan motorik. • Menurut Santrock & Yussen (1992) Perkembangan adalah pola perubahan yang bermula dari proses pembuahan di dalam kandungan dan terus berlanjut selama siklus kehidupan. Pola perubahan tersebut sangat kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses seperti biologis, kognitif, dan sosio-emosional. • Menurut F. J. Monks, dkk (2001) Perkembangan diartikan sebagai suatu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk kepada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diulang kembali. • Menurut Reni Akbar Hawadi (2001) Perkembangan secara luas menunjuk kepada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Di dalam perkembangan tercakup juga konsep usia, yang diawali dari saat pembuahan dan berakhir dengan kematian. • Menurut Chaplin (2002) Perkembangan diartikan sebagai: (a) perubahan yang berkesinambungan dan progresif yang terjadi di dalam suatu organisme, dari lahir sampai mati; (b) pertumbuhan; (c) perubahan dalam bentuk integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional; (d) kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dari tingkah laku yang tidak dipelajari. Berdasarkan berbagai definisi perkembangan di atas, penulis cenderung mengartikan perkembangan sebagai keseluruhan proses kemajuan yang berlangsung dalam diri manusia, mulai dari saat pembuahan dalam kandungan sampai kepada kematian. Proses kemajuan itu sendiri mencakup kemajuan fisik, inteligensi, bahasa, emosi, sosial, dan moral. 2. Perkembangan dan Pertumbuhan Dalam banyak literatur, makna istilah ‘perkembangan’ sering disamakan dengan makna istilah ‘pertumbuhan’ dan, karena itu, penggunaan kedua istilah ini pun sangat sering dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada penulis yang suka menggunakan istilah ‘perkembangan’, tetapi ada juga penulis yang lebih suka menggunakan istilah ‘pertumbuhan’. Bahkan ada juga sebagian penulis yang cenderung menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Pemaknaan yang sama terhadap kedua istilah tersebut bisa dimengerti karena pada prinsipnya kedua istilah tersebut sama-sama merujuk kepada sebuah ‘perubahan’ yang terjadi dalam seluruh rangkaian hidup manusia. Walaupun demikian, kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki makna yang sedikit berbeda. Istilah ‘pertumbuhan’ mengandung makna ‘perubahan’ yang terjadi secara kuantitatif, seperti kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan pendek menjadi panjang/tinggi. Sedikit berbeda dengan ‘pertumbuhan’, istilah ‘perkembangan’ lebih merujuk kepada ‘perubahan’ yang terjadi secara kualitatif, seperti ‘tidak tahu’ tentang sesuatu menjadi ‘tahu’ tentang sesuatu, ‘tidak bisa bergaul’ menjadi ‘bisa bergaul’, ‘tidak bisa berbicara lancar’ menjadi ‘bisa berbicara lancar’, dan ‘tidak bisa menerima dirinya apa adanya’ menjadi ‘bisa menerima dirinya apa adanya’. Dalam konteks pembicaraan tentang anak, istilah ‘pertumbuhan’ digunakan untuk menunjuk perubahan ‘fisik’ dan ‘fungsi-fungsi biologis’ dari masing-masing bagian tubuh anak, sedangkan istilah ‘perkembangan’ lebih cenderung digunakan untuk menunjuk perubahan dalam aspek kognitif, psikologis, dan sosial anak. Pertumbuhan fisik seorang anak dapat diketahui melalui pengukuran berat dan tinggi badan, panjang lengan dan panjang tungkai kaki, besar lingkaran lengan tangan dan pergelangan kaki, besar lingkaran dada dan kepala, dan lain sebagainya. Kecepatan pertumbuhan fisik setiap bagian tubuh anak bisa saja berbeda-beda. Misalnya, pertumbuhan ‘panjang lengan’ seorang anak bisa saja lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ‘besar lingkaran kepala’-nya. Perbedaan kecepatan tumbuh masing-masing bagian tubuh anak berdampak kepada adanya perbedaan proporsi dan fungsi masing-masing bagian tubuh anak tersebut. Terkait pertumbuhan fisik anak, Sunarto dan Hartono (2013) menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi kenormalan pertumbuhan fisik seorang anak sebagai berikut. Pertama, faktor-faktor yang terjadi sebelum kelahiran. Misalnya, kekurangan nutrisi pada ibu dan janin yang sedang dikandungnya; janin terkena virus dan terinfeksi bakteri seperti syphilis, tifus, kolera, dan lain sebagainya. Kedua, faktor-faktor yang terjadi selama proses kelahiran bayi seperti intracranial haemorage atau pendarahan pada bagian kepala bayi yang disebabkan oleh tekanan dari dinding rahim ibunya atau oleh efek susunan saraf pusat karena proses kelahiran dilakukan dengan bantuan tang (tangver-lossing). Ketiga, faktor-faktor yang terjadi sesudah proses kelahiran bayi seperti pengalaman traumatik pada kepala karena kepala bagian dalam terluka oleh pukulan atau serangan sinar matahari. Infeksi pada otak atau selaput otak dapat juga disebabkan oleh penyakit seperti cerebral meningitis, gabag, malaria dan tropika. Faktor lain yang turut memengaruhi pertumbuhan bayi sesudah dilahirkan adalah tekanan psikologis karena ditinggal pergi kedua orang tuanya sehingga harus dititipkan pada keluarga dan/atau lembaga penitipan yang kurang memberikan perhatian yang cukup kepada kebersihan dan kesehatan fisik bayi tersebut. Seperti ‘pertumbuhan’ fisik, perkembangan kognitif, psikologis dan sosial anak pun terus mengalami peningkatan seperti sering terlihat dalam pemilikan kemampuan berikut. Pertama, perbendaharaan kata dan kekayaan berbahasa anak terus mengalami perubahan. Pada saat masih bayi anak-anak lebih banyak berbicara dengan menggunakan bahasa simbol seperti tangisan. Ketika sudah mulai agak besar, anak-anak mulai berbicara dengan menggunakan kata-kata. Pada saat sudah besar, anak-anak berbicara dengan merangkaikan kata-kata menjadi sebuah kalimat pendek dan pada akhirnya menjadi sebuah kalimat yang lebih panjang dan kompleks. Kedua, perkembangan sosial anak-anak pun terus berubah. Anak-anak yang tadinya suka bermain sendiri perlahan-lahan mulai bisa bermain dengan saudara-saudaranya, bermain dengan anak-anak tetangga, dan kemudian bermain dengan anak-anak lain pada lingkungan pergaulan yang lebih luas. Ketiga, perkembangan psikis anak-anak pun terus berubah. Anak-anak yang tadinya dengan begitu mudah menghamburkan dan bahkan mencampakkan mainannya yang baru saja dibelikan orang tuanya mulai dapat menyimpan dan menjaga mainannya supaya tidak mudah rusak. 3. Prinsip-Prinsip Perkembangan Carol Gestwicki (1995) mengemukakan prinsip-prinsip dasar perkembangan sebagai berikut. • Dalam perkembangan terdapat urutan yang dapat diramalkan. Pemahaman tentang perilaku yang seharusnya terjadi berikutnya akan membantu para praktisi mengenal perkembangan yang khusus dan menantang fase berikutnya yang semestinya. • Perkembangan pada satu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya. Suatu perkembangan tidak akan mungkin terjadi secara berkesinambungan dengan baik apabila anak didorong untuk melampaui atau secara tergesa-gesa menjalani tahap-tahap awal. Dengan kata lain, anak harus diberikan waktu sesuai dengan yang mereka butuhkan sebelum berlanjut kepada tahap berikutnya. • Dalam perkembangan terdapat waktu-waktu yang optimal. Waktu-waktu yang menunjukkan kesiapan harus dikenal melalui pengamatan yang cermat. Proses belajar akan terjadi dengan sangat mudah pada saat yang optimal. Setiap pengajaran tidak akan menjadikan proses belajar dengan mudah sebelum mencapai kesiapan. • Perkembangan merupakan hasil interaksi faktor-faktor biologis (kematangan) dan faktor-faktor lingkungan belajar. Kematangan merupakan prasyarat munculnya kesiapan dalam diri anak untuk belajar, sedangkan lingkungan menentukan arah perkembangan. • Perkembangan berkelanjutan merupakan kesatuan yang saling berhubungan di mana semua aspek (fisik, kognitif, emosional, dan sosial) saling mempengaruhi. Semua pengalaman belajar dikenal sebagai peluang yang terintegrasi untuk pertumbuhan dan bukan merupakan keterampilan yang terpisah-pisah. • Setiap individu berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing. Suatu hal yang tidak mungkin dan berbahaya bila kita membandingkan individu-individu berdasarkan umurnya. Setiap anak mempunyai kebutuhan dan karakteristik yang unik pada tahap tertentu. Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan dan pilihan-pilihan. • Perkembangan berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks dan dari yang umum kepada yang khusus. Dengan memperhatikan prinsip ini tidak mungkin anak melampaui tahap tertentu bila mereka belum siap. Sementara penelitian Sutterly dan Donnely tentang proses pertumbuhan menyimpulkan bahwa perubahan adalah kompleks dan semua aspeknya saling berhubungan secara sangat erat. Sutterly dan Donnely menghasilkan sepuluh prinsip dasar pertumbuhan, beberapa di antaranya sama dengan prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan Carol Gestwicki.  Pertumbuhan mencakup hal-hal kuantitatif dan kualitatif: • Perubahan terjadi secara berangsur-angsur dan ada yang melalui pergantian sehingga memungkinkan tubuh kita tetap bertahan. • Pertumbuhan terus terjadi melalui perkembangan dan integrasi sel dan jaringan yang berbeda, dengan kapasitas fungsional khusus untuk aktivitas internal dan tidak nampak. • Kematangan adalah proses pertumbuhan yang mengubah organisme, dalam arti mengganti dan menolak apa yang telah dipelajari dan diperoleh sebelumnya, dan mengganti atau menyesuaikannya dengan fungsi atau proses-proses baru yang lebih sesuai dengan ukuran, bentuk, fungsi dan kapasitas-kapasitas lainnya yang sedang tumbuh dan berkembang.  Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara teratur.  Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah.  Tempo pertumbuhan tidak sama untuk semua orang.  Aspek-aspek yang berada dari pertumbuhan berkembang pada waktu dan kecepatan yang berbeda.  Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik seperti faktor nutrisi dan emosional.  Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masamasa kritis atau masa-masa sulit. Semuanya ini dapat berdampak kepada perkembangan anak didik.  Pada suatu organisme ada kecenderungan untuk mencapai potensi perkembangan yang optimal.  Setiap individu tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri yang unik. Para ahli berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh pola hubungan yang menetap antara temperamen dan lingkungan. Apabila hubungan antara keduanya harmonis maka dapat diharapkan terjadinya perkembangan yang sehat. Sebaliknya, jika hubungan antara keduanya tidak harmonis maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan masalah. Proses-proses dalam pertumbuhan terjadi secara bertahap, mulai dari keadaan yang sepenuhnya bergantung kepada ibunya menjadi orang yang mampu mandiri. Anak diharapkan untuk belajar memenuhi berbagai tuntutan dan memanfaatkan berbagai peluang dalam kehidupan. 3. Fase-Fase Perkembangan Dengan fase perkembangan dimaksudkan penahapan atau periodesasi rentang kehidupan manusia yang ditandai oleh ciri-ciri atau pola-pola perilaku tertentu. Walaupun setiap anak memiliki masa perkembangan yang berbeda, namun jika dicermati secara saksama, terdapat tanda-tanda atau ciri-ciri perkembangan yang hampir sama antara anak yang satu dengan anak lainnya. Sebagai manusia, setiap anak memulai perjalanan kehidupannya dengan melewati jalan-jalan yang umum: mulai belajar berjalan pada usia satu tahun, berjalan pada usia dua tahun, tenggelam dalam permainan fantasi pada masa kanak-kanak, dan mulai belajar mandiri pada masa remaja. Berdasarkan hasil-hasil penelitian para ahli terlihat bahwa dasar yang digunakan untuk melakukan periodesasi perkembangan anak ternyata berbeda satu sama lain. Secara garis besar terdapat empat dasar pembagian fase-fase perkembangan anak, yaitu: (a) fase perkembangan berdasarkan ciri-ciri biologis, (b) fase perkembangan berdasarkan konsep didaktif, (c) fase perkembang-an berdasarkan ciri-ciri psikologis, (d) dan fase perkembangan berdasarkan konsep tugas perkembangan (Desmita, 2009). 3.1. Fase Perkembangan Berdasarkan Ciri-Ciri Biologis Fokus pembagian fase-fase perkembangan ini didasarkan pada gejala-gejala perubahan fisik anak atau didasarkan atas proses biologis tertentu. Para pendukung periodesasi perkembangan ini adalah sebagai berikut: a. Aristoteles Aristoteles membagi fase perkembangan manusia sejak lahir sampai usia 21 tahun ke dalam tiga masa, masing-masing terdiri dari 7 tahun.  Fase anak kecil atau masa bermain (0 – 7 tahun) Fase ini diakhiri dengan tanggal pergantian gigi.  Fase anak sekolah atau masa belajar (7 – 14 tahun) Fase ini dimulai sejak tumbuhnya gigi baru sampai dengan munculnya gejala berfungsinya kelenjar-kelenjar kelamin.  Fase remaja (14 – 21 tahun) Fasa ini merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Fase ini dimulai sejak mulai bekerjanya kelenjar-kelenjar kelamin sampai dengan anak memasuki masa dewasa. b. Sigmund Freud Freud memfokuskan pembagian perkembangan anak berdasarkan cara-cara bagian tubuh bereaksi. Fase-fase itu adalah:  Fase Infantile (0 – 5 tahun) Fase ini masih dapat dibedakan ke dalam tiga fase: • Fase Oral (0 – 1 tahun) Pada fase ini anak mendapatkan kepuasan seksual melalui mulutnya. • Fase Anal (1 – 3 tahun) Pada fase ini anak mendapatkan kepuasan seksual melalui anusnya. • Fase Phalis (3 – 5 tahun) Pada fase ini anak mendapatkan kepuasan seksual melalui alat kelaminnya.  Fase Laten (5 – 12 tahun) Pada fase ini anak nampak lebih tenang, setelah terjadi gelombang dan badai pada tiga tahap pertama. Pada fase ini, desakan seksual anak nampak mengendur. Anak dapat dengan mudah melupakan desakan seksualnya dan mengalihkan perhatiannya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan sekolah dan teman-teman sebayanya. Walaupun energi seksualnya terus berjalan, tetapi fase ini diarahkan pada masalah-masalah sosial dan membangun benteng yang sangat kokoh untuk melawan desakan seksual.  Fase Pubertas (12 – 18 tahun) Pada fase ini dorongan-dorongan seksual mulai muncul kembali, dan apabila dorongan-dorongan tersebut dapat ditransfer dan disublimasikan secara baik, anak akan sampai pada masa kematangan terakhir, yaitu fase genital.  Fase Genital (18 – 20 tahun) Pada fase ini dorongan seksual yang pada masa laten boleh dikatakan sedang tidur kini mulai berkobar kembali, dan mulai sungguh-sungguh tertarik pada jenis kelamin lain. Dengan perkataan lain, seksualitas pada fase ini bersifat lebih terarah dan lebih ditujukan untuk tujuan reproduksi dengan disertai ‘bumbu cinta’. Pada fase ini, konflik internal lebih stabil dan seseorang dapat mencapai sturktur ego yang kuat untuk dapat berhubungan dengan dunia nyata. Pencapaian ego ideal yang didambakan akhirnya dapat tercapai, yaitu dengan keseimbangan antara cinta dan kerja. c. Maria Montessori Menurut Maria Montessori, pembagian fase-fase perkembangan anak memiliki arti biologis, karena perkembangan itu sendiri adalah untuk memenuhi tuntutan kodrat alam dengan dua asas pokok, yaitu asas kebutuhan vital dan asas kesibukan sendiri. Montessori membagi perkembangan anak ke dalam empat fase, yaitu:  Fase 1 (0 – 7 tahun) Fase ini merupakan masa di mana anak-anak mulai menangkap dan mengenal dunia luar dengan pancaindera.  Fase 2 (7 – 12 tahun) Fase ini merupakan masa abstrak di mana anak-anak mulai menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruknya perbuatan tersebut.  Fase 3 (12 – 18 tahun) Fase ini merupakan masa di mana anak-anak mulai menemukan diri dan kepekaan sosial.  Fase 4 (18 tahun ke atas) Fase ini merupakan masa di mana anak-anak memasuki dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi. d. Elisabeth E. Hurlock Elisabeth E. Hurlock mengelompokkan tahapan perkembangan anak ke dalam lima fase berikut:  Fasel Prenatal (0 – 280 hari) Fase ini bermula sejak terjadinya pembuahan di dalam kandungan ibu sampai kepada proses kelahiran.  Fase Infancy (Orok) Fase ini berawal dari sejak seorang anak dilahirkan ke dalam dunia sampai dengan anak tersebut mencapai usia 14 hari (dua minggu).  Fase Bayi (Babyhood) Fase ini bermula ketika anak menginjak usia 2 minggu sampai dengan anak berusia kurang lebih 2 tahun.  Fase Kanak-Kanak (Childhood) Fase ini bermula ketika anak berusia 2 tahun sampai dengan anak memasuki usia remaja (pubertas).  Fase Remaja (Adolescence) Fase ini bermula ketika anak menginjak usia 11 - 13 tahun sampai dengan anak memasuki usia 21 tahun. Fase ini dibagi ke dalam tiga fase, yaitu: • Fase pre-remaja Fase ini bermula ketika anak-anak berusia 11 – 13 tahun (untuk anak-anak wanita) dan usia-usia sekitar setahun kemudian bagi anak laki-laki. • Fase remaja awal Fase ini berawal ketika anak-anak berusia 13-14 tahun sampai dengan usia 16-17 tahun. • Fase remaja akhir Fase ini bermula ketika anak-anak berusia 18 tahun sampai dengan anak-anak berusia 21 tahun. Fase ini merupakan masa-masa akhir dari perkembangan seseorang atau hampir bersamaan dengan masa ketika anak-anak mulai memasuki dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi. e. Kretscmer Setiap manusia, menurut Kretscmer, sejak dia lahir sampai dewasa pasti melewati empat tahapan berikut:  Tahap I (0 – 3 tahun) Pada masa ini anak kelihatan pendek dan gemuk.  Tahap II (3 – 7 tahun) Pada masa ini anak kelihatan langsing dan meninggi.  Tahap III (7 – 13 tahun) Pada masa ini anak kelihatan pendek dan gemuk kembali.  Tahap IV (13 – 20 tahun) Pada masa ini anak kelihatan langsing kembali. f. Santrock dan Yussen Pasangan penulis ini mengelompokkan tahapan perkembangan anak ke dalam lima fase berdasarkan waktu yang dilalui oleh anak-anak, yaitu: • Fase Pranatal Fase ini merujuk kepada waktu yang terletak antara masa pembuahan dan masa kelahiran. Pada fase ini terjadi perkembangan yang sangat luar biasa: bermula dari satu sel kemudian berkembang menjadi satu organisme yang lengkap dengan otak dan kemampuan berperilaku, yang dihasilkan hanya dalam waktu kurang lebih sembilan bulan. • Fase Bayi Fase bayi merujuk kepada saat perkembangan yang berlangsung sejak lahir sampai 18 atau 24 bulan. Pada masa ini anak sangat bergantung kepada orang tua. Ada banyak kegiatan psikologis bermula pada fase ini, seperti bahasa, koordinasi sensori motor dan sosialisasi. • Fase Kanak-Kanak Awal Fase ini menunjuk kepada saat perkembangan yang berlangsung sejak akhir masa bayi sampai anak berusia 5 atau 6 tahun. Fase ini seringkali disebut masa pra-sekolah. Selama fase ini anak-anak belajar melakukan sendiri banyak hal. Anak-anak biasanya memanfaatkan waktu selama beberapa jam untuk bermain sendiri ataupun dengan teman-teman sebayanya. Banyak keterampilan yang berhubungan dengan kesiapan anak-anak untuk bersekolah berkembang pada fase ini. Fase ini berakhir pada waktu anak-anak masuk kelas 1 Sekolah Dasar. • Fase Kanak-Kanak Tengah dan Akhir Fase ini menunjuk kepada perkembangan yang berlangsung sejak anak berusia kira-kira 6 tahun sampai dengan anak berusia 11 tahun, sama dengan masa usia Sekolah Dasar. Pada masa ini anak-anak menguasai beberapa keterampilan dasar, seperti membaca, menulis, dan menghi-tung. Pada masa ini, anak-anak secara formal mulai memasuki dunia yang lebih luas dengan budayanya. Pada masa ini anak-anak mulai belajar mengendalikan diri sendiri. Pencapaian prestasi menjadi arah perhatian pada dunia anak-anak. • Fase Remaja Fase ini merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa awal, yang dimulai kira-kira usia 10-12 tahun, dan berakhir kira-kira 18-22 tahun. Remaja mengalami perubahan fisik yang sangat cepat, perubahan perbandingan ukuran bagian-bagian tubuh dan berkembangnya karakteristik seksual seperti membesarnya payudara, tumbuhnya rambut pada bagian tertentu dan perubahan suara. Pada fase ini anak-anak berusaha untuk mandiri dan mencari identitas diri. Pemikiran anak-anak sudah lebih logis, abstrak, dan idealis. Lebih banyak waktu dimanfaatkan anak-anak di luar rumah. 3.2. Fase Perkembangan Berdasarkan Konsep Didaktif Dasar didaktis yang dipergunakan oleh para ahli dalam melakukan periodesasi perkembangan anak Tokoh penggagas pembagian fase perkembangan berdasarkan konsep didaktif adalah Johann Amos Comenius, seorang ahli didik dari Moravia. Johann A. Comenius membagi fase-fase perkembangan anak berdasarkan tingkat sekolah yang diduduki anak-anak, sesuai dengan tingkat usia dan menurut bahasa yang dipelajarinya di sekolah, yaitu: • Fase usia 0 – 6 tahun Johann A. Comenius menyebut fase ini dengan sebutan ‘Sekolah Ibu’. Pada fase ini anak-anak mengembangkan alat-alat indera dan memperoleh pengetahuan dasar di bawah asuhan ibunya di lingkungan rumah tangga. • Fase usia 6 – 12 tahun Johann A. Comenius menyebut fase ini dengan sebutan ‘Sekolah Bahasa Inggris’. Pada fase ini anak-anak mengembangkan daya ingatnya di bawah pendidikan sekolah dasar. Pada masa ini anak-anak mulai diajarkan bahasa ibu (vernacular). • Fase usia 12 – 18 tahun Johann A. Comenius menyebut fase ini dengan sebutan ‘Sekolah Bahasa Latin’. Pada fase ini, anak-anak mengembangkan daya pikirnya di bawah pendidikan sekolah menengah (gymnasium). Pada masa ini anak-anak mulai diajarkan bahasa Latin sebagai bahasa asing. • Fase usia 18 – 24 tahun Johann A. Comenius menyebut fase ini dengan sebutan ‘Sekolah Tinggi dan Pengembaraan’. Pada fase ini anak-anak mengembangkan kemauannya dan memilih suatu lapangan hidup yang berlangsung di bawah perguruan tinggi. 3.3. Fase Perkembangan Berdasarkan Ciri-Ciri Psikologis Fase ini didasarkan pada ciri-ciri kejiwaan yang menonjol. Tokoh-tokoh penggagas dan pengembang periodesasi berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik psikologis anak adalah sebagai berikut. a. Oswald Croch Ciri-ciri psikologis yang digunakan Oswald Kroch adalah pengalaman keguncangan jiwa yang dimanifestasikan dalam bentuk sifat trotz atau sifat ‘keras kepala’. Atas dasar ini dia membagi fase perkembangan anak menjadi tiga fase, yaitu: • Fase anak awal (0 – 3 tahun) Pada akhir fase ini terjadi trotz pertama yang ditandai dengan sifat anak yang suka membantah atau menentang orang lain. Hal ini terutama disebabkan oleh munculnya kesadaran akan kemampuannya untuk berkemauan, sehingga anak ingin menguji kemauannya sendiri. • Fase keserasian sekolah (3 – 13 tahun) Pada akhir fase ini terjadi trotz kedua, di mana anak mulai serba membantah, suka menentang kepada orang lain, terutama terhadap orang tuanya. Gejala ini sebenarnya merupakan gejala yang biasa, sebagai akibat dari munculnya kesadaran akan fisiknya yang semakin besar dan kuat, sifat berpikir yang dirasakannya lebih maju dari orang lain, dan keyakinan yang dianggapnya benar; tetapi yang dirasakan dan dialaminya sebagai suatu keguncangan. • Fase kematangan (13 – 21 tahun) Fase ini bermula sejak berakhirnya gejala-gejala trotz kedua. Pada fase ini anak-anak mulai menyadari kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan dan kekurangan ini akan dihadapinya dengan sikap yang sewajarnya. Pada fase ini anak mulai dapat menghargai pendapat orang lain dan dapat bersikap toleransi terhadap keyakinan orang lain, karena anak mulai menyadari bahwa orang lain pun memiliki hak yang sama dengannya. Masa ini dipandang sebagai masa terbentuknya kepribadian menuju tahap kemantapan. b. Kohnstamm Kohnstamm mengelompokkan tahapan perkembangan anak menjadi lima fase berdasarkan pendidikan dan tujuan luhur umat manusia, yaitu: • Fase vital (0 – 1,5 tahun) Kohnstamm menyebutnya dengan sebutan masa menyusu. • Fase estetis (1,5 – 7 tahun) Kohnstaam menyebutnya dengan sebutan masa pencoba dan fase bermain. • Fase intelektual (7 – 14 tahun) Kohnstamm menyebutnya dengan sebutan masa sekolah. • Fase sosial (14 – 21 tahun) Kohnstamm menyebutnya dengan sebutan masa remaja. • Fase matang (21 tahun ke atas) Kohnstamm menyebutnya dengan sebutan masa dewasa. 3.4.Fase Perkembangan Berdasarkan Konsep Tugas Perkembangan Dengan tugas perkembangan dimaksudkan berbagai ciri perkembangan yang diharapkan muncul dan dimiliki oleh anak-anak pada setiap masa dalam periode perkembangannya. Tokoh penggagas dan pengembang periodesasi perkembangan berdasarkan konsep tugas perkembangan adalah Robert J. Havighurst. Havighurst (1961) memaknai tugas perkembangan sebagai berikut. A development task is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, successful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disapproval by society, and difficulty with their later task. Tugas perkembangan adalah sebuah tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam masa kehidupan setiap individu. Keberhasilan dalam tugas tersebut akan menghantarkan orang tersebut kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam pengerjaan tugas selanjutnya. Sementara kegagalan dalam pengerjaan suatu tugas dapat berdampak kepada munculnya ketidakbahagiaan, penolakan oleh masyarakat dan kesulitan dalam pengerjaan tugas selanjutnya. Havighurst (dalam Adam & Gullota, 1983) mengemukakan bahwa periode yang beragam dalam kehidupan setiap individu menuntut penuntasan tugas-tugas perkembangan yang khusus. Havighurst (1961) membagi periode perkembangan manusia ke dalam enam tahap, yaitu: [a] masa bayi dan kanak-kanak (0 – 6 tahun); [b] masa sekolah (6–12 tahun); [c] masa remaja (12–18 tahun); [d] masa dewasa awal (18–30 tahun); [e] masa dewasa pertengahan (30–50 tahun); dan [f] masa dewasa akhir atau masa tua (50 tahun ke atas). Sesuai dengan judul buku ini, penulis memfokuskan diri untuk hanya membahas 3 tahapan perkembangan pertama sebagai berikut. a. Masa Bayi dan Kanak-Kanak (0-6 Tahun) Tugas-tugas perkembangan yang seyogyanya dilaksanakan seorang bayi dan kanak-kanak adalah sebagai berikut:  Belajar berjalan  Belajar makan makanan keras  Belajar berbicara  Belajar buang air kecil dan air besar pada tempatnya  Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin  Belajar mencapai kestabilan fisik  Belajar mengenal dan membentuk konsep-konsep sederhana  Belajar membangun hubungan emosional dengan orang tua, kakak-adik, dan orang lain di sekitarnya  Belajar membangun dan mengembangkan ‘kata hati’ dalam arti membedakan yang ‘baik’ dan ‘buruk’. b. Masa Sekolah (6-12 Tahun) Tugas-tugas perkembangan yang seyogyanya dilaksanakan anak-anak usia sekolah (6-12 tahun) adalah sebagai berikut:  Belajar keterampilan fisik untuk bermain dan berolahraga, seperti loncat tali, senam pagi, bermain sepak bola, dan berenang.  Belajar membentuk sikap sehat terhadap diri sendiri, seperti mengembangkan kebiasaan memelihara badan dan mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelamin dan menerima diri apa adanya.  Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya.  Belajar memainkan peran sesuai dengan jenis kelaminnya.  Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.  Belajar mengembangkan konsep tentang kehidupan sehari-hari melalui: (a) melihat, mendengar, dan mengalami banyak hal yang bermanfaat; dan (b) membaca buku-buku atau media cetak lainnya.  Belajar mengembangkan ‘kata hati’.  Belajar mandiri, terlepas dari berbagai pengaruh luar dalam merencanakan dan melakukan sesuatu untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.  Belajar mengembangkan sikap positif terhadap lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. c. Masa Remaja (12-18 Tahun) Masa remaja merupakan masa kehidupan yang sangat penting dalam siklus kehidupan setiap orang. Masa ini sering dikenal sebagai masa transisi di mana orang mulai mengarahkan dan mempersiapkan diri dan kehidupannya kepada masa dewasa (Konopka dalam Pikunas, 1976). Masa remaja juga sering dikenal dengan masa pencarian dan penemuan identitas diri. Erickson (dalam Yusuf LN, 2009), memandang pengalaman remaja sebagai suatu periode di mana remaja diharapkan mampu mempersiapkan diri untuk masa depan dan mampu menjawab pertanyaan who am I (siapakah aku?). Masa remaja antara lain dicirikhaskan oleh hal-hal berikut [Yusuf LN, 2009]: (a) bergesernya sikap dependen menjadi independen terhadap orang tua; (b) munculnya minat seksual terhadap lawan jenis; (c) kecenderungan untuk merenung dan memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral. William Kay (dalam Yusuf LN, 2009) merumuskan tugas-tugas perkembangan yang seyogyanya dilaksanakan oleh anak-anak remaja sebagai berikut:  Menerima keberadaan fisiknya lengkap dengan segala keragaman kualitasnya.  Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan semua orang yang memiliki otoritas.  Mengembangkan keterampilan berkomunikasi interpersonal dengan teman sebaya dan orang lain, baik secara pribadi maupun kelompok.  Menemukan ‘model’ yang dijadikan identitasnya.  Menerima dan percaya terhadap kemampuan diri sendiri.  Meninggalkan masa kanak-kanak dan belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan.  Mengendalikan diri dan membuat skala prioritas atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penuturan yang sedikit berbeda, Havighurst (1961) merinci tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai berikut.  Mencapai kematangan hubungan dengan teman sebaya Pada penghujung masa anak, perkembangan anak-anak biasanya lebih cepat. Anak-anak mulai menaruh perhatian untuk bergaul dengan orang lain, pertama-tama dengan teman-teman sebaya yang sama jenis kela-minnya. Masa ini disebut ‘gang age’ bagi pria. Bagi anak-anak wanita gejala ini pun ada, namun tidak sekuat pada pria. Pada usia 14 sampai 16 tahun, anak-anak biasanya mulai bergerak meninggalkan pergaulannya dengan kelompok besar dan membentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan dua atau tiga orang, sehingga pergaulan mereka menjadi lebih akrab dan intim. Salah satu hal yang sangat memengaruhi para remaja adalah dorongan untuk mendapatkan persetujuan kelompok. Para remaja tidak jarang menjadi ‘budak’ dari sebuah peraturan pergaulan kelompok sebaya yang biasanya mewajah dalam sebuah kesaragaman, seperti: model dan warna rambut, model dan warna pakaian, dan slang (bahasa khas remaja).  Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita Peran pria dan wanita relatif berbeda dalam masyarakat. Remaja pria harus belajar menerima ide atau pemikiran pria dewasa. Demikian halnya remaja wanita harus belajar menerima ide atau pemikiran wanita dewasa. Peran wanita terus berubah seiring derasnya tuntutan persamaan gender.  Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif Siklus pertumbuhan remaja melibatkan serangkaian pertumbuhan endoktrin dengan berkembangnya ciri-ciri seksual dan fisik orang dewasa. Masa remaja merupakan saat yang tepat bagi seorang anak untuk belajar memahami fisiknya (tinggi-pendek, gemuk-kurus, kuat-lemah). Remaja wanita lebih cepat pertumbuhan fisiknya daripada remaja pria.  Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan semua orang dewasa lainnya Orang tua sering kali sangat dibingungkan oleh sikap dan perilaku anak-anak remaja. Di satu pihak orang tua sangat menginginkan anak-anaknya mandiri, tetapi di lain pihak orang tua merasa enggan dan khawatir melepaskan anak-anak remajanya karena melihat mereka masih belum tahu banyak hal dan belum berpengalaman. Keengganan dan kekhawatiran orang tua yang berlebihan berbuntut pada pemberontakan anak-anak remaja. Anak-anak remaja yang mengalami kesulitan dalam kehidupan sekolah dan hubungan sosial dengan teman-temannya pada umumnya berasal dari lingkungan keluarga yang orang tuanya bersikap memusuhi, menolak, dan kurang memberikan perhatian. Kemandirian emosional merupakan salah satu dari tiga aspek perkembangan kemandirian remaja, yaitu: (a) kemandirian emosi yang ditandai oleh kemampuan melepaskan ketergantungannya pada orang tua dan berusaha memuaskan kebutuhan kasih sayang di luar rumah; (b) kemandirian berperilaku: kemampuan mengambil keputusan tentang tingkah laku pribadinya, seperti dalam memilih pakaian, sekolah/pendidikan, dan pekerjaan; dan (c) kemandirian dalam nilai yang biasanya ditunjukkan dalam komitmennya terhadap nilai-nilai moral dan agama.  Mencapai jaminan kemandirian ekonomi Dalam kehidupan dewasa ini, memperoleh kemapanan/kemandirian ekonomi merupakan hal yang sangat dicemaskan dan ditakuti oleh para remaja. Kenyataan menunjukkan bahwa cukup banyak mahasiswa Program Studi Administrasi Negara Universitas Musamus Merauke Angkatan 2009/2010 yang dengan ‘sangat rela’ menghentikan kuliahnya demi pekerjaan. Pe-nulis sempat berbincang-bincang dengan salah satu dari para mantan ma-hasiswa yang ‘sangat rela’ tersebut. Dia bertutur sebagai berikut. ‘Kesempatan tidak pernah datang dua kali, Pak. Lebih baik saya berhenti kuliah dan bekerja sekarang walaupun hanya dengan bermodalkan ijazah SMA daripada menunggu sampai selesai kuliah dan tidak mendapatkan pekerjaan’. Kita boleh saja berargumen tentang kemungkinan mendapatkan pekerjaan dan posisi yang lebih baik setelah berhasil mengantongi ijazah Strata Satu (S-1), tetapi siapakah yang berani memberikan jaminan sehingga para ‘mantan mahasiswa yang rela’ tersebut bisa mengurungkan ‘kerelaannya’ dan kembali menekuni perkuliahan?  Memilih dan mempersiapkan karier atau pekerjaan Anak-anak sekolah menengah atas pada umumnya sudah mulai secara serius memikirkan masa depan kehidupannya. Bagi para remaja, pekerjaan merupakan sesuatu yang secara sosial diakui sebagai cara terbaik untuk memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi pada masa sebelumnya.  Memilih status hidup keluarga (menikah atau tidak menikah) Kematangan seksual menghasilkan daya tarik luar biasa antara dua jenis kelamin berbeda yang biasanya berujung kepada keputusan untuk menikah. Selain itu, ada juga sebagian remaja yang dengan bebas memilih status hidup tidak menikah, entah karena kemauan mengejar karier atau pun karena kemauan menanggapi ‘panggilan Allah’ untuk mendharmabaktikan seluruh hidupnya demi ‘Kerajaan Allah’.  Mengembangkan keterampilan intektual dan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sebagai ‘jemaah’ dan warga negara Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, masa remaja termasuk dalam tahap ‘formal operasional’. Pada tahapan perkembangan ini, remaja sudah memiliki kemampuan untuk berpikir atau bernalar tentang sesuatu yang berada di luar pengalamannya atau pun sistem nilai yang sudah dimilikinya. Kehidupan moderen menuntut para remaja untuk memiliki kemampuan bernalar yang tinggi agar dapat memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Sebagai ‘jemaah’ dan warga negara, para remaja tidak pernah lepas dari tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi bersama ‘jemaah’ dan warga negara lainnya dalam membangun kehidupan bersama yang harmonis, berwawasan kebangsaan dan lingkungan.  Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial Proses pengikatan individu kepada kelompok sosial sudah berkembang sejak lahir sampai akhir hayat. Seorang anak lahir dalam sebuah kelompok sosial genetis yang dikenal dengan ‘keluarga’. Di dalam kelompok sosial genetis tersebut anak tidak hanya belajar merasakan kebahagiaan hidup bersama orang tua dan para saudaranya, tetapi juga belajar mengorbankan kebahagiaan pribadinya demi kebahagiaan orang tua dan para saudara. Demikian juga halnya ketika anak tersebut masuk ke dalam kelompok sosial teman sebaya dan/atau kelompok sosial-kemasyarakatan lainnya.  Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam bersikap dan berperilaku Konopka (dalam Yusuf, 2009) merumuskan suatu teori perkembangan yang memandang masa remaja sebagai fase yang sangat penting bagi pembentukan nilai. Nilai-nilai dasar terbentuk melalui pengalaman remaja dalam lingkungan keluarga. Orang tua memiliki peranan yang sangat penting dan menentukan bagi pembentukan nilai pada masa remaja. Orang pertama yang paling berpengaruh terhadap kehidupan para remaja adalah ibu. Sikap hangat dan kasih sayang ibu melalui pemberian makanan, senyuman, dan kelembutan bertutur kepada anak akan berkembang menjadi nilai-nilai dasar kehidupan anak sewaktu dia menjadi remaja dan dewasa. Cinta dan persetujuan tidak hanya diperoleh anak dari ibunya, tetapi juga dari ayah, teman sebaya, guru-guru dan orang-orang lain yang lebih tua. Melalui cinta dan persetujuan itulah anak belajar nilai-nilai.  Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang mau ditekankan di sini adalah kematangan wawasan dan sikap remaja untuk mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan dalam kehidupannya sehari-hari. Rasional yang melandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan adalah hakikat dasar manusia sebagai makhluk Tuhan yang mengemban amanah suci untuk selalu beribadah dan berbakti kepada-Nya demi memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Masa remaja merupakan masa yang tepat untuk mengembangkan dan mulai memberlakukan nilai-nilai keagamaan (seperti: ibadah, puasa, dan amal kasih) yang sudah ditanamkan sejak dini dalam kehidupan keluarga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir dan bersikap maupun dalam cara bertutur dan berperilaku. Sehubungan dengan hal ini, upaya yang dapat dilakukan sekolah antara lain (Yusuf, 2009): • Memberikan pengajaran tentang perkembangan dan perubahan fisik remaja dan membimbing siswa untuk menghormati postur tubuhnya dan menerima kondisi dirinya, lengkap dengan segala kekuatan dan kelemahannya; • Memberikan pengajaran dan bimbingan kepada siswa tentang berbagai keterampilan sosial dan hidup demokratis; • Menciptakan situasi dan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan emosional siswa; • Memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam berbagai kegiatan kelompok seperti OSIS; • Bersama siswa mendiskusikan masalah peranan sosial pria atau wanita dalam masyarakat; • Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan menyampaikan pendapat; • Membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri; • Mengembangkan siswa positif siswa terhadap dunia kerja; • Memberikan informasi kepada siswa tentang dunia kerja dan cara-cara memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan; • Memberikan bimbingan kepada siswa tentang cara-cara mengambil keputusan dan mengatasi masalah yang dihadapi; • Bersama siswa mendiskusikan masalah-masalah kenakalan remaja dan dampaknya terhadap kehidupan bersama serta cara-cara menanggulanginya; • Secara rutin menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, diskusi dan seminar-seminar keagamaan; • Bekerja sama dengan para orang tua/wali siswa dalam membimbing dan mengarahkan siswa. BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERKEMBANGAN Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki suatu ‘kesendirian’ yang tidak dimiliki atau berbeda dengan ‘kesendirian’ individu yang lain. Sementara sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup dalam jalinan relasi kebersamaan dengan orang lain. Manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu kebersamaan hidup antara kedua orang tuanya. Pada waktu mencapai usia bermain, dia hidup dalam kebersamaan hidup antara teman-teman sepermainannya. Ketika mencapai usia sekolah, dia masuk dan menjadi bagian dari suatu kebersamaan hidup antara guru-guru dan teman-teman sekolahnya, dan begitu seterusnya. Singkat kata, setiap manusia, dalam seluruh perjalanan hidupnya, selalu menjadi bagian dari suatu kebersamaan hidup dengan orang lain. Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, perkembangan hidup seorang anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam dirinya (internal) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya (eksternal). Secara garis besar pengaruh-pengaruh tersebut adalah sebagai berikut. 1. Faktor Internal Setiap individu (anak) terkodrat lahir dari hubungan cinta antara kedua orang tuanya. Semenjak di dalam kandungan, janin tumbuh dengan berbagai kelengkapan kodrati yang dimilikinya. Dari sekian banyak faktor yang dimiliki anak dalam dirinya, beberapa faktor di antaranya yang paling berpengaruh terhadap perkembangan setiap anak adalah sebagai berikut. a. Faktor Keturunan Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, baik secara fisik maupun mental. Dengan faktor keturunan dimaksudkan keseluruhan karakteristik individu yang dipusakakan orang tua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Sifat-sifat keturunan ini dapat menentukan perkembangan seorang anak. Walaupun demikian, seperti bibit tanaman yang pertumbuhannya dapat dipupuk dan dipengaruhi supaya dapat memberikan hasil yang baik, demikian juga sifat-sifat keturunan dapat dibina dan dikembangkan ke arah yang baik. Sifat-sifat keturunan yang dipusakakan orang tua kepada anak-anaknya dapat berupa fisik (seperti: penyakit, bentuk muka, bentuk tubuh) dan mental (seperti: sifat malas, periang, pendiam, dan pemarah). Penurunan sifat-sifat ini mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) reproduksi: penurunan sifat-sifat hanya berlangsung melalui sel benih; (b) konformitas: proses penurunan sifat akan mengikuti pola jenis (spesies) sebelumnya. Misalnya, manusia akan menurunkan sifat-sifat manusia kepada anaknya; (c) variasi: karena jumlah gen-gen dalam kromosom itu begitu banyak, maka kombinasi gen-gen pada setiap pembuahan akan mempunyai kemungkinan yang banyak pula. Morgan (dalam Djamarah, 2005) mengatakan bahwa gen mengatur sifat menurun tertentu yang mengandung satuan informasi genetika. Gen ini merupakan satuan kimia yang diwariskan dalam kromosom yang dengan interaksi lingkungan mempengaruhi atau menentukan perkembangan individu. Penurunan sifat kepada anak-anak pun sangat bervariasi, sehingga antara kakak dan adik bisa saja memiliki karakter yang berbeda; dan (d) regresi filial: penurunan sifat-sifat cenderung ke arah rata-rata. b. Faktor Bakat atau Pembawaan Perkembangan dan kematangan jiwa seorang anak dapat juga dipengaruhi oleh faktor pembawaan atau bakat. Anak dilahirkan dengan membawa dalam dirinya bakat-bakat tertentu. Bakat-bakat tertentu inilah yang akan membedakan anak didik yang satu dengan anak didik yang lainnya. Bakat ini dapat diumpamakan seperti bibit kesanggupan (kemampuan riil) dan bibit kemungkinan (potensi) yang terkandung di dalam diri anak. Setiap anak memiliki macam-macam bakat sebagai pembawaannya, seperti musik, menari, melukis dan bahasa. Anak-anak yang memiliki bakat melukis pasti memiliki minat dan perhatian yang sangat besar terhadap seni lukis. Mereka suka memelajarinya dan dengan sangat mudah menguasai berbagai keterampilan yang berhubungan dengan seni lukis. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang memiliki bakat bahasa. Mereka sangat suka pada pelajaran bahasa apa pun dan dengan sangat mudah menguasai bahasa-bahasa yang dipelajarinya. c. Faktor Inteligensi Inteligensi merupakan salah satu aspek yang selalu aktual untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan karena inteligensi adalah salah satu faktor yang memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan seorang anak. Menurut William Stern, inteligensi merupakan daya untuk menyesuaikan diri secara mudah dengan keadaan baru. Dalam pengertian ini, seseorang dikatakan inteligen apabila: (a) mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru secara cepat tanpa mengalami suatu masalah; (b) mampu menggunakan konsep-konsep abstrak secara efektif; dan (c) mampu membina relasi dengan cepat. Anak dengan tingkat inteligensi yang tinggi (cerdas) akan berkembang sangat cepat. Sebaliknya, anak dengan tingkat inteligensi yang rendah (kurang cerdas) akan berkembang sangat lamban. Dalam hal berbicara, misalnya, anak yang cerdas sudah bisa berbicara pada usia 11 bulan. Anak yang tingkat kecerdasannya rata-rata, baru bisa berbicara pada usia 16 bulan. Sementara anak yang tingkat kecerdasannya sangat rendah baru bisa berbicara pada usia 34 bulan. Sedangkan anak yang idiot baru bisa berbicara pada usia 52 bulan. d. Faktor Motif dan Insting Dengan motif dimaksudkan daya atau kekuatan yang mendorong seorang anak untuk melakukan sesuatu pada saat dibutuhkan. Sedangkan insting atau naluri merujuk kepada dorongan yang memungkinkan manusia melakukan suatu pekerjaan atau tindakan tanpa didahului oleh suatu pendidikan atau pelatihan. Dalam psikologi, kemampuan insting ini dipandang sebagai suatu bentuk kapabilitas (kemampuan untuk melakukan sesuatu tanpa melalui pendidikan dan pelatihan). Jenis-jenis tindakan manusia yang dikategorikan sebagai insting adalah sebagai berikut. (a) Melarikan diri dan/atau bersembunyi karena takut. (b) Menolah sesuatu karena merasa jijik. (c) Ingin tahu karena melihat sesuatu yang menakjubkan. (d) Melawan karena marah atau jengkel. (e) Merendahkan diri karena kehendak untuk mengabdi. (f) Menonjolkan diri karena harga diri atau manja. (g) Berkelamin karena keinginan menlanjutkan keturunan atau reproduksi. (h) Berkumpul karena keinginan untuk bergaul atau bermasyarakat. (i) Mencapai sesuatu karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru. (j) Menarik perhatian orang lain karena keinginan untuk diperhatikan. Setiap anak dilahirkan dengan memiliki motivasi dan insting dalam dirinya. Adanya dorongan memungkinkan manusia, sepanjang hidupnya, selalu aktif berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Demikian misalnya, motif untuk mempertahankan hidupnya mendorong seorang bayi untuk berusaha mencari susu ibunya. 2. Faktor Eksternal Dengan faktor eksternal dimaksukan faktor-faktor yang berada di luar diri anak atau yang lebih sering dikenal dengan faktor lingkungan. Lingkungan merujuk kepada segala seluruh fenomena fisik dan sosial yang berpengaruh kepada perkembangan seorang anak. Dari sekian banyak faktor yang berada di luar diri anak, beberapa faktor di antaranya yang paling berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak sebagai berikut. a. Faktor Gizi Gizi merupakan salah faktor yang sangat memengaruhi perkembangan anak. Untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan kuat, anak tidak hanya membutuhkan makanan yang banyak, tetapi juga makanan yang bergizi tinggi. Makanan yang banyak hanya akan mengenyangkan perut, tetapi gizi yang cukup akan dapat menjamin pertumbuhan yang sempurna. Anak-anak yang mendapatkan asupan gizi yang cukup sejak dini pada umumnya akan bertumbuh dan berkembang lebih cepat dari anak-anak yang kekurangan asupan gizi. Dikatakan ‘pada umumnya’ karena faktor gizi hanyalah salah satu dari begitu banyak faktor yang memengaruhi bertumbuhkembangnya seorang anak. b. Faktor Pendidikan Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan kepribadian seorang anak. Pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik nilai-nilai agama dan moral maupun nilai-nilai sosial-budaya, dan perawatan orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor yang sangat kondusif dalam mempersiapkan anak-anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Dengan perkataan lain, fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menanamkan, membimbing dan membiasakan anak-anak dengan nilai-nilai dan keterampilan tertentu yang sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. Apabila suatu keluarga tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, maka sudah bisa dipastikan bahwa anak-anaknya tidak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kaidah dan nilai-nilai agama dan budaya yang ada. Tugas pendidikan yang telah dimulai dalam keluarga kemudian diteruskan oleh guru selaku orang tua anak-anak di sekolah. Sebagai pendidik, guru bertanggung jawab mewariskan nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan hidup kepada para anak didiknya. Akan menjadi apa seorang anak nantinya cukup banyak tergantung kepada bagaimana anak dididik di rumah dan di sekolah. c. Faktor Kebudayaan Latar belakang budaya suatu suku atau bangsa dapat juga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Anak yang terlahir dan bertumbuh dalam budaya desa memiliki jiwa yang murni, akan terlihat lebih tenang karena jiwanya berada dalam lingkungan kebudayaan yang masih memegang teguh falsafah hidup yang umumnya diramu dari pandangan hidup keagamaan. Sebaliknya, anak yang terlahir dan hidup di daerah perkotaan terlihat ‘kurang tenang’ dan semakin kurang peduli dengan nilai-nilai luhur suku, budaya, atau bahkan bangsanya sendiri karena telah banyak dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebudayaan asing. d. Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga Kedudukan anak dalam keluarga dapat sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian seorang anak. Apabila anak tersebut adalah anak tunggal dalam keluarga, seluruh perhatian dan wujud kasih sayang orang tua selalu tercurah kepadanya. Perhatian dan wujud kasih sayang yang berlebihan bisa saja tidak mendorong anak tersebut ke titik perkembangan sebagaimana diharapkan. Anak tunggal dalam keluarga umumnya lebih cenderung bersifat manja, kekanak-kanakan, egois, dan kurang bisa bergaul dengan teman-teman sebayanya. Sebaliknya, seorang anak yang mempunyai banyak saudara, perhatian orang tua jelas terbagi kepada semua anaknya. Dalam keluarga yang memiliki banyak anak (lebih dari satu), anak-anak yang lebih muda cenderung lebih cepat bekembang dari anak yang lebih tua karena mereka akan meniru dan belajar dari kakak-kakaknya. e. Faktor Ekonomi Keluarga Anak-anak tidak hanya hidup dengan perhatian dan kasih sayang. Anak butuh makan, bermain, dan belajar. Semua kebutuhan ini bersifat insani (manusiawi) dan merupakan wujud nyata kepedulian dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Keluarga, dalam konteks ini, dipandang sebagai institusi yang dapat memenuhi semua kebutuhan insani (manusiawi) tersebut. Perawatan dan perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya dapat berdampak terhadap perkembangan kepribadian anak-anak. Latar belakang ekonomi juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak. Orang tua yang ekonominya lemah (rendah), yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok anak-anaknya, sering kurang memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Penderitaan secara ekonomis tidak jarang menghambat perkembangan jasmani dan jiwa anak-anak. Tekanan ekonomi dapat berdampak kepada tekanan jiwa yang, pada gilirannya, menimbulkan konflik antara orang tua dan anak, sehingga dapat menimbulkan rasa rendah diri pada anak. Sebaliknya, orang tua yang ekonominya kuat, sering kali ‘mendadani’ anak-anaknya dengan rupa-rupa kemewahan. Kenyataan ini tidak hanya akan membuat anak manja dan ‘besar kepala’ (sombong). BAB III HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK ANAK DIDIK 1. Hakikat Anak Didik Anak didik adalah subjek dari sebuah proses pendidikan dan, karena itu, dia menjadi pokok permasalahan dari seluruh proses pendidikan yang berlangsung di sebuah sekolah. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, anak didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu (Pasal 1 ayat 4). Sedangkan menurut perspektif psikologis, anak didik adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis, sesuai dengan garisan kodratnya masing-masing. Sebagai individu yang sedang tumbuh dan berkembang, anak didik membutuhkan bimbingan dan arahan yang konsisten dan berkelanjutan menuju ke titik optimal yang sesuai dengan garisan kodratnya (Arifin, 1996). Sementara menurut perspektif pedagogik, anak didik adalah makhluk yang menghajatkan pendidikan (homo educandum). Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dan, karena itu, mutlak diperlukan untuk setiap anak didik. Potensi anak didik yang bersifat laten perlu diaktualisasikan. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa anak didik memiliki potensi atau kemampuan untuk dididik dan dibina agar dapat menjadi manusia yang cerdas. Berdasarkan berbagai definisi tersebut, Djamarah (2005) dan Desmita (2009) berkesimpulan bahwa anak didik adalah individu yang memiliki sejumlah karakteristik, antara lain:  Anak didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas. Kekhasan inilah yang menjadikan setiap anak didik sebagai ‘insan yang unik’.  Anak didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya, anak didik sedang mengalami berbagai perubahan, baik yang terjadi dalam dirinya sendiri maupun yang terkait dengan upaya penyesuaian diri dengan lingkungannya.  Anak didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan dan arahan yang bersifat manusiawi. Anak didik belum mampu menghadapi kehidupan dan, karena itu, masih sangat bergantung kepada lingkungan. Anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, dia akan menjadi baik. Bimbingan dan arahan yang diberikan hendaknya selalu mengacu kepada tingkat perkembangannya.  Anak didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Setiap anak didik, dalam perkembangannya, tidak hanya memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah kedewasaan, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada pihak lain. Dalam kerangka berpikir ini, orang tua ataupun pendidik hendaknya selalu memberikan kesempatan kepada setiap anak didik untuk mandiri dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. 2. Teori-Teori Psikologi Tentang Hakikat Anak Didik 2.1. Pandangan Psikodinamika Pandangan psikodinamika merujuk kepada teori psikologi yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan tingkah laku manusia. Teori psikodinamika dipelopori oleh Sigmud Freud (1856-1939). Model psikodinamika yang diajukan Freud disebut ‘teori psikoanalisis’ (psycho-analitic theory). Menurut teori ini, tingkah laku manusia merupakan hasil dari daya atau pun kekuatan yang beroperasi dalam pikiran manusia, yang seringkali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Bagi Freud, ketidaksadaran merupakan bagian dari pikiran yang terletak di luar kesadaran yang umum dan berisikan berbagai dorongan instingtual. Hanya sebagian kecil dari tingkah laku manusia yang muncul dari proses mental yang disadari. Sementara yang paling besar pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran. Dalam kerangka berpikir ini, tingkah laku manusia hanya dapat dipahami melalui suatu kajian yang mendalam terhadap ketidaksadaran. Freud berkeyakinan bahwa tingkah laku manusia lebih didorong oleh motif-motif dan/atau konflik-konflik yang berada di luar alam sadar yang tidak selalu disadari. Konflik-konflik itu didasari oleh dorongan-dorongan seksual dan kebutuhan untuk mempertahankan berbagai impuls primitif di luar kesadaran langsung manusia. Berdasarkan gagasan pokok tentang tingkah laku manusia tersebut, Freud kemudian membedakan kepribadian manusia ke dalam tiga unit mental atau struktur psikis, yaitu id, ego dan superego. Id merujuk kepada aspek biologis kepribadian, termasuk di dalamnya dorongan-dorongan dan impuls-impuls instingtif yang lebih dasar (lapar, haus, seks, dan agresi). Id merupakan realitas psikis yang sesungguhnya karena hanya terkait dengan dunia subjektif manusia dan sama sekali tidak terkait dengan dunia objektif. Id yang sepenuhnya beroperasi pada tingkat ketidaksadaran telah ada sejak lahir dan tidak mendapatkan campur tangan dari pihak atau dunia luar. Id bekerja mengikuti prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dioperasikan pada dua proses, yaitu (a) refleks dan reaksi otomatis seperti bersin dan berkedip; dan (b) proses berpikir primer atau primary thinking process seperti imajinasi dan fantasi. Proses berpikir primer biasanya mendapatkan pemuasan melalui manipulasi gambar mental dari objek yang diinginkan, seperti orang lapar membayangkan makanan atau orang haus membayangkan minuman. Karena id selalu mengikuti prinsip kesenangan, maka id selalu menuntut pemuasan insting-insting tanpa mempertimbangkan norma-norma sosial ataupun kebutuhan orang lain. Ego merupakan aspek psikologis kepribadian karena muncul dari kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia nyata dan menjadi perantara antara kebutuhan instingtif organisme dengan lingkungan. Fungsi utama ego adalah sebagai berikut: (a) menahan penyaluran dorongan; (b) mengatur desakan berbagai dorongan yang sampai pada kesadaran; (c) mengarahkan perbuatan agar mencapai tujuan yang dapat diterima; (d) berpikir logis; dan (e) menggunakan pengalaman emosi seperti merasa bersalah, kecewa atau kesal untuk mengungkapkan sesuatu yang salah atau tidak benar. Prinsip kerja ego diatur oleh prinsip realitas (reality principle), yaitu menghilangkan ketegangan dengan mencari objek yang terdapat di dalam dunia nyata. Perbedaan pokok antara id dan ego adalah bahwa id hanya mengenal realitas subjek-jiwa, sedangkan ego mengenal baik hal-hal yang terdapat dalam batin maupun yang terdapat dalam dunia luar, dan bahkan mampu membedakan antara keduanya. Superego adalah aspek sosiologis kepribadian karena merupakan representasi dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan dan dipusakakan orang tua kepada anak-anaknya melalui berbagai perintah dan larangan. Fokus utama superego adalah memutuskan apakah suatu perbuatan itu benar atau salah, sehingga orang dapat dengan mudah menyesuaikan tindakan atau perbuatannya dengan norma-norma moral yang diakui masyarakat. Superego mencerminkan nilai-nilai moral dari ego (self) yang ideal, sehingga disebut ego ideal. Fungsi ego ideal adalah sebagai berikut: (a) sebagai penjaga moral internal yang mengawasi ego dan memberikan penilaian tentang benar atau salah; (b) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresifitas; (c) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan bersifat realistis dengan tujuan-tujuan bersifat moral; (d) menentukan cita-cita mana yang pantas untuk diperjuangkan; dan (e) mengajarkan kesempurnaan. Superego bekerja menurut prinsip moral (moral principle). Karena itu superego cenderung membuat dunia menurut gambarannya sendiri dan menentang id dan ego. Superego menuntut kepatuhan rigorik terhadap standar moral yang ditetapkan oleh masyarakat. Superego sama dengan id dalam hal sifatnya yang tidak rasional (irasional), tetapi sama dengan ego dalam hal fungsinya untuk melaksanakan fungsi kontrol terhadap insting-insting. Berbeda dengan ego, superego tidak hanya menunda pemuasan insting, tetapi juga berusaha untuk selalu merintanginya. Dalam realitas kehidupan pribadi, id lebih cenderung pada nafsu, sedangkan superego lebih cenderung kepada hal-hal yang bersifat moral. Supaya tercipta suatu keseimbangan hidup, id dan superego harus dijembatani oleh hal-hal yang bersifat realistis, yaitu ego. Hal ini terutama dimaksudkan agar manusia tidak terlalu mengembangkan nafsu saja (id) dan juga tidak melulu mengarahkan diri pada hal-hal yang bersifat ideal dan moral (superego). Hidup ini perlu seimbang, dan keseimbangan itu terjadi pada dunia nyata yang, menurut Freud, direpresentasikan oleh ego. 2.2. Pandangan Behavioristik Aliran behavioristik dikembangkan sebagai reaksi atas teori psikodinamika dari Sigmund Freud. Tokoh utama pengembang aliran ini adalah John B. Watson (1878-1958), seorang ahli psikologi Amerika. Aliran behavioristik berasumsi bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya ditentukan oleh aturan-aturan, bisa diramalkan, dan bisa dikendalikan. Watson dan ahli behaviorristik lainnya, seperti Skinner (1904-1990), berkeyakinan bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil dari pembawaan genetis dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan menjadi penentu utama tingkah laku manusia. Dalam kerangka berpikir teori behavioristik, kepribadian individu dapat diasalkan kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Manusia terlahir ke dunia dengan tidak membawa dalam dirinya ciri-ciri yang secara otomatis akan menjadikan dirinya baik atau buruk, tetapi netral. Pengaruh lingkunganlah yang akan menjadikannya baik atau buruk. Berbeda dengan Freud yang melihat bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak rasional, para ahli behavioristik justru sangat menekankan ‘peran belajar’ dalam menjelaskan tingkah laku manusia. Penganut aliran behavioristik berkeyakinan bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil pembentukan dan manipulasi pengaruh lingkungan. Manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya. Menurut aliran ini, orang menampilkan diri dan terlibat dalam tingkah laku tertentu karena dia telah memelajarinya melalui pengalaman-pengalaman yang terdahulu, dan kemudian menghubungkan tingkah laku tersebut dengan penghargaan atau hadiah-hadiah tertentu yang diterimanya. Semua tingkah laku manusia, baik yang mendatangkan manfaat maupun yang merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari. 2.3. Pandangan Humanistik Aliran humanistik muncul sekitar pertengahan abad ke-20, sebagai reaksi atas teori psikodinamika dan behavioristik. Para ahli humanistik, seperti Carl Rogers (1902-1987) dan Abraham Maslow (1908-1970), berkeyakinan bahwa tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan berdasarkan hasil dari konflik-konflik yang tidak disadari (seperti yang dikembangkan dalam teori psikodinamika) ataupun berdasarkan hasil dari suatu proses belajar (seperti yang dikembangkan dalam teori behavioristik). Teori humanistik memfokuskan diri pada pentingnya pengalaman sadar yang bercorak subjektif dan self-direction. Aliran humanistik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan filsafat eksistensialisme. Para eksistensialis memfokuskan perhatiannya pada pencarian makna eksistensi manusia. Jean-Paul Sartre (1905-1970), misalnya, meyakini bahwa kemanusiaan kita membuat kita bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan apa pun yang diambil dalam kehidupan kita. Tanggung jawab ini malahan semakin diperberat karena keputusan dan tindakan yang sama pada akhirnya harus dihayati pula sebagai keputusan yang menyangkut seluruh kemanusiaan umat manusia. Kepedulian dan tanggung jawab terhadap nasib hidup orang lain tetap tidak bisa dihindari oleh si pengambil keputusan. Saya harus bertanggung jawab bagi diriku sendiri dan bagi setiap orang lainnya. Saya menciptakan gambaran tertentu tentang manusia atas dasar pilihan saya sendiri. Akan tetapi dalam memilih bagi diri saya sendiri, saya sebenarnya memilih juga bagi manusia pada umumnya (Sartre, 1965). Menurut teori humanistik, manusia adalah aktor dalam drama kehidupan dan bukan reaktor terhadap insting atau tekanan lingkungan. Manusia memiliki kecenderungan bawaan utuk mengaktualisasikan dirinya. Menurut Rogers (dalam Desmita 2009), prasyarat terpenting bagi aktualisasi diri adalah konsep diri yang luas dan fleksibel yang memungkinkan seseorang mampu menyerap seluruh pengalaman dan mengekspresikan dirinya secara purna. Rogers meyakini bahwa orang tua memiliki peran sangat penting dalam membantu anak-anaknya mengembangkan keyakinan dan harga diri mereka melalui pemberian penilaian dan/atau penghargaan yang bersifat positif. Hanya atas cara demikian anak-anak dapat mengkonsepsi dan mengaktualisasikan dirinya secara positif. Sebaliknya, penilaian yang negatif terhadap anak-anak akan memberikan pengalaman yang tidak mengenakkan dalam diri mereka. Anak-anak akan mengonsepsi dan mengaktualisasikan dirinya secara negatif. Dengan konsep diri yang negatif, anak-anak akan lebih cenderung berusaha untuk menjadi apa yang diinginkan oleh orang lain, dan tidak berusaha menjadi apa yang diinginkannya sendiri. Rogers (dalam Desmita, 2009) lebih lanjut mengatakan bahwa orang yang bersifat antisosial atau yang saling menyakiti satu sama lain sebenarnya merupakan orang yang frustrasi dan gagal dalam usahanya menggapai potensi diri mereka yang unik. Anak-anak yang dididik dengan penuh cinta dan penghargaan akan perbedaan yang mereka miliki akan tumbuh menjadi anak yang penuh kasih sayang, walaupun tidak jarang beberapa nilai dan kesukaan mereka berbeda dengan apa yang diinginkan oleh orang tua mereka. Singkat kata, manusia, dalam teori humanistik, digambarkan sebagai individu aktif dan kreatif, bebas dan bertanggung jawab, berorientasi ke masa depan dan selalu berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya secara purna. Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini lebih disebabkan oleh pengaruh pendidikan orang tua dan lingkungan sosial lainnya yang keliru dan membelenggu. 2.4. Pandangan Psikologi Transpersonal Psikologi transpersonal bermula dari penelitian psikologi kesehatan yang dilakukan oleh Abraham Maslow pada tahuan 1960-an. Maslow melakukan serangkaian penelitian yang intensif dan luas tentang pengalaman keagamaan, seperti pengalaman puncak (peak experience). Hasil penelitian Maslow menunjukkan bahwa orang-orang mengalami pengalaman-pengalaman pucak merasa lebih menyatu dengan dunia, lebih spontan, lebih cepat dan mudah menyerap sesuatu, dan lebih menjadi raja atas diri mereka sendiri. Maslow (1968) menulis sebagai berikut: I shoul say also that I consider humanistic, third forces psychology, to be transitional, a preparation for a still higher fourth psychology, a transpersonal, transhuman, centered in the cosmos, rather human need and interest, going beyond humanness, identity, self-actualization, and the like. Saya harus mengatakan juga bahwa saya memandang humanistik, aliran ketiga psikologi, sebagai suatu persiapan untuk suatu aliran keempat psikologi yang lebih tinggi, yaitu psikologi transpersonal, transhumanistik, yang lebih berpusat pada alam semesta daripada kebutuhan dan kepentingan manusiawi, yang melampaui kemanusiaan, identitas, aktualisasi diri, dan hal-hal serupa lainnya. Kutipan tersebut dengan sangat jelas menyebut psikologi transpersonal sebagai aliran keempat psikologi dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari psikologi humanistik. Shapiro dan Lajoie (1992) menggambarkan psikologi transpersnonal sebagai berikut. Transpersonal psychology is concerned with the study of humanities highest potential, and with the recognition, understanding, and realization of unitive, spiritual, and transcendent states of consciesness. Psikologi transpersonal berkaitan dengan studi tentang potensi kemanusiaan yang luhur, dan dengan pengenalan, pemahaman, dan realisasi fenomena kesadaran yang unitif, spiritual dan transenden. Kutipan tersebut menunjukkan apa yang menjadi fokus perhatian psikologi transpersonal, yaitu dimensi spiritual dan pengalaman-pengalaman rohani manusia. Fenomena kesadaran dalam kutipan tersebut lebih merujuk kepada pengalaman seseorang melewati batas-batas kesadaran yang biasa, seperti: pengalaman-pengalaman alih dimensi, memasuki alam kebatinan, kesatuan mistik, dan komunikasi batiniah. Potensi-potensi luhur manusia menghasilkan berbagai telaah, seperti: transendensi diri, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, dan ekstasi. 3. Perbedaan Individu Anak Didik 3.1. Sedikit Catatan tentang Perbedaan Individu Setiap anak adalah unik. Ketika kita memperhatikan anak-anak di dalam kelas, kita akan menyaksikan betapa anak-anak itu sangat berbeda dalam penampilan, sikap, watak, minat, dan kemampuan. Masalah individu ini mendapat perhatian yang sangat serius dalam kajian psikologi, sehingga memunculkan suatu cabang psikologi yang secara khusus meneliti tentang perbedaan individu, yaitu individual psychology atau differential psychology. Individu menunjukkan kedudukan seseorang sebagai persona. Sebagai persona, individu memiliki sifat-sifat atau karakteristik yang membuatnya berbeda dengan individu yang lain. Perbedaan inilah yang biasa disebut dengan perbedaan individual atau individual differences. Perbedaan individual anak didik yang dapat disebutkan di sini antara lain: (a) perbedaan fisik motorik, (b) perbedaan inteligensi atau tingkat kecerdasan, (c) perbedaan kecerdasan berbahasa, dan (d) perbedaan psikologis. a. Perbedaan Fisik-Motorik Perbedaan fisik tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang dapat diamati dengan panca indera (seperti: tinggi badan, warna kulit, warna mata, warna rambut, dan jenis kelamin), tetapi juga aspek-aspek fisik yang tidak dapat diamati dengan panca indera (seperti: usia, golongan darah, kecepatan berlari, dan kekuatan menyangga beban). Perbedaan fisik juga dapat dilihat dari kesehatan anak yang terkait langsung dengan penerimaan materi pelajaran di dalam kelas, seperti kesehatan mata dan kesehatan telinga. Sehubungan dengan kesehatan mata, tidak jarang guru menjumpai anak didik yang mengalami gangguan penglihatan, seperti: rabun dekat, rabun jauh, rabun malam dan buta warna. Sedangkan terkait dengan kesehatan telinga, tidak jarang guru juga menjumpai anak didik yang mengalami gangguan pendengaran, seperti: penyumbatan pada saluran telinga, terganggunya tulang-tulang pendengaran, dan kerusakan pada gendang telinga. b. Perbedaan Inteligensi Secara etimologis, istilah bahasa Indonesia ‘inteligensi’ berasal dari bahasa Latin inteligere yang berarti menyatukan atau menghubungkan satu sama lain (Walgito, 1981). Sampai saat ini para ahli psikologi belum mencapai 'kata sepakat' tentang batasan tingkat kecerdasan. Menurut William Stern (dalam Kartono, 1984), inteligensi adalah kemampuan untuk secara tepat menggunakan pikiran dan berbagai alat bantu lainnya guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Sedangkan menurut Binet (dalam Mulyasa, 2007), inteligensi merujuk kepada kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu dengan baik. Menurut Kendler (dalam Mulyasa, 2007), inteligensi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjuk kemampuan intelektual seseorang untuk: (a) berpikir abstrak, (b) belajar, dan (c) mengintegrasikan pengalaman-pengalaman dan mengadaptasikannya ke dalam situasi-situasi baru. Hal yang hampir senada dikemukakan oleh Therman (dalam Mulyasa, 2007) yang memaknai inteligensi sebagai suatu kemampuan untuk berpikir tentang gagasan-gagasan yang abstrak. Terman (dalam Patty, 1982) membedakan dengan sangat jelas concrete ability (kemampuan untuk berpikir tentang hal-hal yang sifatnya konkret) dan abstract ability (kemampuan untuk berpikir tentang hal-hal yang sifatnya abstrak). Seseorang dikatakan inteligen apabila orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik. Upaya untuk mengetahui tingkat kecerdasan telah dilakukan oleh para ahli psikologi, beberapa di antaranya sebagai berikut.  Tes yang dilakukan oleh Cattel pada tahun 1890 yang lebih dikenal dengan sebutan mental test.  Tes inteligensi yang dilakukan oleh Alfred Binet dan Simon pada tahun 1905. Binet dan Simon berhasil melakukan tes inteligensi yang digunakan secara luas. Mereka juga berhasil menemukan cara untuk menentukan usia mental seseorang. Menurut pasangan peneliti ini, usia mental seseorang itu bisa lebih rendah, lebih tinggi, atau sama dengan usia kronologis. Anak cerdas memiliki usia mental lebih tinggi dari usia kronologisnya, dan mampu mengerjakan tugas-tugas yang diperuntukkan bagi anak-anak yang usianya lebih tinggi. Misalnya, jika seorang anak yang berusia lima tahun mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang diperuntukkan bagi anak yang berusia delapan tahun, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas yang lebih dari tugas tersebut, maka usia mentalnya adalah delapan tahun. Sebaliknya, jika seorang anak yang berusia delapan tahun tetapi hanya mampu mengerjakan dengan benar tugas-tugas yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia lima dan sebagian tugas yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia enam tahun, maka usia mental anak tersebut adalah 5,3 tahun. Menurut Binet dan Simon, tingkat kecerdasan adalah usia mental dibagi usia kronologis dikalikan dengan 100.  Pada tahun 1916, Lewis M. Therman dari Stanford University berhasil memperbaiki Tes Binet-Simon dan kemudian dikenal sebagai Stanford Binet Test. Revisi berikutnya dilakukan pada tahun 1937 dan 1960.  Berpijak pada hasil penelitian yang dilakukan Spearman, pada tahun 1938 Thurstone berhasil mengembangkan tes kemampuan mental dasar (primary mental abilities test) yang meliputi: (a) verbal comprehension atau pemahaman kata: kemampuan untuk memahami ide-ide yang diungkap-kan dengan kata-kata, (b) number atau bilangan: kemampuan untuk me-nalar dan memanipulasi secara matematis, (c) spatial atau ruang: kemam-puan untuk memvisualisasi objek-objek dalam bentuk ruang, (d) reasoning atau penalaran: kemampuan untuk memecahkan masalah, (e) perceptual speed atau kecepatan persepsi: kemampuan menemukan persamaan-persamaan dan ketidaksamaan-ketidaksamaan di antara objek-objek se-cara tepat.  Till (1971) berhasil menggolongkan kecerdasan inteligensi (IQ) ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: (a) kelompok terendah adalah mereka yang IQ-nya antara 0–50. Kelompok ini masih dibedakan lagi menjadi dua, yaitu mereka yang IQ-nya 0–20 atau 25 dan mereka yang IQ-nya antara 25–50. Mereka yang IQ-nya di bawah 25 tergolong tidak mampu dididik atau dilatih karena mereka hanya mampu belajar lebih dari dua tahun. Sedangkan mereka yang IQ-nya antara 25–50 termasuk dalam kelompok yang dapat dididik atau dilatih untuk mengurus kegiatan rutin yang sederhana atau untuk mengurus kebutuhan jasmaninya. Dua kelompok ini oleh sebagian penulis dinyatakan sebagai kelompok yang memiliki keterbatasan mental, lemah pikiran atau cacat mental. Ada juga sebagian penulis yang menyebutnya dengan istilah idiot; (b) kelompok yang lebih tinggi dari mereka yang tergolong idiot adalah mereka yang IQ-nya antara 50–70 dan dikenal dengan kelompok moron, yaitu keterbatasan atau kelambatan mental. Kelompok ini dapat dididik, dapat belajar membaca, menulis, berhitung sederhana, dan dapat mengembangkan kecakapan bekerja secara terbatas. Untuk melayani kelompok ini diperlukan latihan khusus; (c) kelompok yang memiliki IQ antara 70–90 disebut sebagai 'anak lambat'. Untuk membangkitkan semangat anak-anak kelompok ini, guru seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bisa membuat mereka patah semangat, seperti: kata 'bodoh' dan 'tolol'; (d) kelompok yang memiliki IQ antara 90–110. Kelompok ini merupakan bagian yang paling besar jumlahnya, sekitar 45–50 %. Kelompok ini bisa belajar secara normal; (e) kelompok yang memiliki IQ antara 110–130 adalah kelompok yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sebutan bagi anak-anak yang masuk dalam kelompok ini adalah anak didik yang cepat mengerti atau anak-anak superior, dan (f) kelompok yang memiliki IQ 140 ke atas dise-but kelompok anak-anak genius. Kelompok ini memiliki kemampuan bela-jar yang jauh lebih cepat dari kelompok lainnya. 3) Perbedaan Kecakapan Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi. Secanggih apapun perangkat komunikasi yang mampu disediakan teknologi, tidak bisa dengan mudah menggantikan pe-ran bahasa sebagai yang mampu 'mempersatukan' dan sekaligus 'memisahkan' miliaran hati manusia. Sebagai alat komunikasi, bahasa memungkinkan manu-sia yang satu bisa memahami manusia yang lain. Namun, bahasa juga bisa menimbulkan kesalahpahaman, ketidaksenangan, dan bahkan perselisihan atau perseteruan jika digunakan secara 'serampangan' dan 'tidak bertanggung jawab'. Pada gilirannya, bahasa jugalah yang mampu 'mencairkan kebekuan relasi' dan 'memadamkan api perselisihan dan perseteruan' yang terjalin antara pihak-pihak yang berhubungan. Kecakapan berbahasa merupakan salah satu kemampuan individu yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Kecakapan berbahasa adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan hasil pemikirannya, baik yang berwujud kata maupun kalimat logis, sistematis, dan bermakna. Kemam-puan berbahasa anak didik itu berbeda-beda. Ada anak yang dapat berbicara dengan jelas dan sangat lancar, tetapi ada juga anak yang bicaranya tidak lan-car (gagap), berbelit-belit dan sangat tidak jelas. Perbedaan kecakapan berba-hasa anak didik sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: (a) fisik, terutama organ bicara, (b) kecerdasan, (c) pembawaan, dan (d) lingkungan ke-luarga dan masyarakat sekitar. 4) Perbedaan Psikologis Perbedaan individual anak didik juga terlihat dari aspek psikologisnya. Ada anak yang selalu riang dan mudah tersenyum, tetapi ada anak sulit tersenyum dan gampang marah; ada anak yang berjiwa sosial, tetapi ada anak yang sa-ngat egois; ada anak yang rajin, tetapi ada anak yang malas; ada anak yang begitu tegar dan mandiri, tetapi ada anak yang sangat cengeng dan manja, dan begitu seterusnya. Dalam proses pendidikan di sekolah, perbedaan psikologis ini sering menjadi persoalan, terutama yang berkaitan dengan masalah minat, motivasi dan perhatian anak didik terhadap materi pembelajaran. Tidak jarang guru menemui kenyataan bahwa tidak semua anak aktif dalam proses pembe-lajaran dan mampu menyerap materi pembelajaran dengan baik. Secara fisik mungkin terlihat bahwa perhatian anak didik terarah kepada pembicaraan guru. Tetapi secara psikologis, pandangan mata atau kondisi tubuh anak didik yang terlihat duduk dengan sangat rapih an tenang sama sekali tidak menjamin bahwa mereka memperhatikan materi yang sedang disajikan guru. Pandangan mata anak didik memang terarah kepada sikap, gerak dan gaya mengajar guru, namun bukan mustahil bahwa alam pikiran anak didik lebih terarah kepada masalah lain yang lebih menarik minat dan perhatiannya. Persoalan psikologis memang sangat kompleks dan tidak mudah untuk dipahami guru, karena berkaitan dengan apa yang ada dalam pikiran, perasa-an, dan jiwa anak didik. Walaupun demikian, guru tidak seyogyanya membiar-kan semuanya berlalu begitu saja tanpa adanya usaha untuk memahami pi-kiran, perasaan, dan jiwa para anak didik. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan guru untuk menyelami aspek psikologis anak didik ini adalah dengan melakukakan pendekatan pribadi (personal approach) kepada anak didik. Guru hendaknya membangun relasi yang akrab dengan setiap anak didik, supaya mereka mau mengungkapkan ‘muatan’ hati dan pikirannya. Atas cara demikian guru dapat: (a) mengenal setiap anak didiknya secara lebih mendalam; (b) me-ngetahui apa yang sesungguhnya mereka inginkan dan butuhkan; (c) mengeta-hui harapan, kecemasan dan ketakutan anak didik; dan (d) mengetahui masa-lah yang sedang dihadapi anak didik. Berdasarkan pengenalan dan pengeta-huannya tentang anak didik, guru dapat merencanakan dan mencarikan cara-cara terbaik untuk membimbing dan membangkitkan motivasi belajar mereka. 4. Implikasi Karakteristik Individu Bagi Pendidikan Karakteristik individu adalah keseluruhan sikap dan kemampuan yang ada pada setiap individu sebagai hasil dari pembawaan dan pengaruh lingkungan. Dengan pembawaan dimaksudkan karakteristik individu yang dibawa sejak la-hir, dan biasanya dipusakakan oleh orang tuanya sebagai sifat bawaan. Se-orang bayi lahir ke dunia sebagai hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis ke-luarga ayah dan garis keluarga ibu. Sedangkan pengaruh lingkungan merujuk kepada faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi individu. Sejak masa pem-buahan di dalam kandungan, anak sudah dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang, baik secara terpisah maupun secara ber-sama-sama, membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terben-tuknya tingkah laku yang dibawa sejak lahir, yang pada gilirannya akan mem-bentuk suatu pola karakteristik tingkah laku anak sebagai individu yang berka-rakteristik berbeda dengan individu-individu lainnya. Adanya karakteristik individu yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan tersebut jelas berdampak terhadap proses pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah hendaknya disesuaikan dengan karakteristik anak didik secara individu. Artinya, di dalam setiap proses pembelajaran, guru harus memperlakukan dan menerapkan strategi belajar yang berbeda untuk setiap anak didik. Dalam kerangka berpikir ini, secara esensial proses pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah menyediakan kondisi belajar yang kondusif agar masing-masing anak didik dapat belajar secara optimal. Guru hendaknya menyadari bahwa anak didik memiliki gaya belajar yang sangat bervariasi. Anak didik dapat belajar baik dari pengalaman langsung (se-perti menanam pohon, mengukur benda-benda yang berada di sekitarnya, dan mengirim sms kepada temannya), maupun dari bentuk-bentuk pengalaman yang menyentuh perasaan mereka (seperti melihat lukisan, menonton TV, mendengar radio, dan membaca buku). Keterlibatan aktif dengan berbagai objek ataupun gagasan dapat mendorong aktivitas mental para anak didik untuk berpikir, menganalisis, menyimpulkan, dan menemukan pemahaman tentang suatu konsep baru dan mengintegrasikannya dengan konsep yang sudah diketahui sebelumnya. Menurut Rita Dunn (1978), gaya belajar merupakan cara di mana setiap pemelajar mulai berkonsentrasi, memroses, dan menyimpan in-formasi yang baru dan sulit. Ada tiga gaya belajar yang biasa ditemukan, yaitu: (a) gaya belajar visual atau belajar dengan melihat; (b) gaya belajar auditif atau belajar dengan men-dengar; dan (c) gaya belajar kinestetik atau belajar dengan bergerak/berbuat. 1) Gaya Belajar Visual (Belajar dengan Melihat) Anak didik dengan gaya belajar ini biasanya mengharapkan guru melaku-kan demonstrasi dan menyajikan materi pelajaran secara runut. Cara belajar yang terbaik bagi anak didik yang memiliki gaya belajar ini adalah dengan meli-hat orang lain melakukannya. Anak dengan tipe ini suka dengan tampilan dia-gram, buku teks yang bergambar, transparansi OHP, video, flip-charts, dan ma-teri (hand-out) yang dibagikan guru. Selama proses pembelajaran berlangsung, anak didik dengan tipe ini biasanya mencatat hal-hal detil untuk dapat menye-rap informasi. Anak didik dengan gaya belajar ini biasanya:  Diam dan jarang merasa terganggu oleh kebisingan.  Memberikan tanggapan terhadap penggunaan bahan-bahan visual seba-gai gambar, bagan, peta, grafik, dan lain-lain.  Ingin mendapatkan pandangan yang jelas ke guru sehingga dapat melihat bahasa tubuh dan ekspresi wajah guru.  Mencatat ataupun mengharapkan guru membagikan bahan pelajaran (hand-outs).  Mengilustrasikan suatu ide dalam bentuk gambar sebelum ide tersebut ditulis.  Suka menulis cerita dan menghiasinya dengan gambar.  Merespon dengan baik penggunaan multi-media, seperti komputer dan film.  Menyukai belajar di tempat yang tenang, jauh dari gangguan yang sifatnya lisan.  Membaca buku-buku bergambar.  Memvisualisasikan informasi dalam bentuk gambar agar mudah diingat. 2) Gaya Belajar Auditori (Belajar dengan Mendengar) Anak didik dengan gaya belajar auditori mengharapkan guru memberikan instruksi lisan. Anak didik tipe ini dapat belajar dengan baik apabila mendengar sesuatu. Perhatian mereka akan mudah beralih bila ada bunyi-bunyian dan, ka-rena itu, sering kali perlu bekerja di tempat yang sunyi. Mereka akan lebih mu-dah belajar dengan menggunakan buku-buku yang sudah direkam. Anak didik dengan tipe ini sering kali menemukan solusi masalah dengan cara membica-rakannya. Mereka biasanya:  Berpartisipasi aktif dalam diskusi atau debat.  Suka berbicara dan melakukan presentasi.  Suka membaca teks dengan suara keras.  Menciptakan lagu-lagu pendek untuk membantu daya ingat.  Suka mendiskusikan ide-ide secara lisan.  Menggunakan analogi lisan dan juga cerita untuk menunjukkan maksud mereka. 3) Gaya Belajar Kinestetik (Belajar dengan Bergerak/Berbuat) Anak didik dengan gaya belajar ini dapat belajar dengan baik melalui pen-dekatan langsung dalam praktek dan kegiatan fisik lainnya. Anak didik dengan tipe ini sangat sulit untuk duduk berlama-lama. Perhatian mereka akan sangat mudah beralih karena timbulbulnya kebutuhan akan aktivitas gerak dan eksplo-rasi. Anak didik dengan tipe ini mengharapkan guru melibatkan mereka secara aktif dalam berbagai kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Semakin banyak mereka bergerak, semakin baik mereka berpikir dan belajar. Anak didik dengan tipe ini akan kehilangan banyak informasi apabila mereka dipaksa untuk hanya mendengarkan pengajaran. Mereka juga akan mengalami masalah dalam ber-konsentrasi jika mereka dipaksa untuk duduk dan membaca. Anak didik dengan tipe ini biasanya:  Selalu berkeliling untuk memelajari hal-hal baru.  Lebih suka melakukan sesuatu daripada harus memperhatikan atau menyi-mak.  Lebih suka belajar dengan posisi berdiri.  Membuat gambar ataupun coretan-coretan untuk membantu mengingat sesuatu.  Menyukai kelas atau tempat kerja yang 'hidup' dan dinamis.  Membaca secara cepat terlebih dahulu (skimming) untuk mendapatkan gambaran tentang isi teks, sebelum membacanya kembali secara lebih detail. Pemahaman terhadap karakteristik anak didik merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam interaksi belajar-mengajar. Bagi guru, informasi tentang ka-raktertisk individu anak didik dapat sangat bermanfaat dalam memilih dan menentukan pola dan metode pembelajaran yang lebih baik dan sesuai, se-hingga dapat memberikan kemudahan belajar bagi setiap anak didik. BAB IV PERKEMBANGAN ANAK DIDIK A. Perkembangan Fisik Fisik manusia terdiri dari begitu banyak organ yang semuanya telah ter-bentuk sejak masih dalam kandungan. Menurut Seifert & Hoffnung (1994), perkembangan fisik meliputi antara lain: (a) perkembangan organ tubuh, seperti pertumbuhan otak, sistem saraf, hormon, berat badan, dan tinggi badan; (b) perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, seperti perkembang-an keterampilan motorik dan perkembangan seksual; dan (c) perubahan dalam kemampuan fisik, seperti penurunan fungsi jantung, fungsi penglihatan dan fungsi pendengaran pada saat seseorang memasuki usia tua. Sedangkan me-nurut Kuhlen dan Thompson (dalam Hurlock, 1956), perkembangan fisik manu-sia mencakup empat aspek berikut: (a) perkembangan sistem syaraf: berpe-ngaruh terhadap tingkat kecerdasan dan emosi; (b) perkembangan otot: berpe-ngaruh terhadap perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (c) per-kembangan kelenjar endokrin: berpengaruh terhadap munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti perasaan senang dalam diri anak remaja untuk aktif dalam suatu kegiatan yang sebagian anggotanya adalah lawan jenis; dan (d) perkembangan struktur tubuh: seperti pertumbuhan tinggi dan berat badan. Sigelman dan Shaffer (1995) merunut pengaruh kelenjar endokrin terhadap pertumbuhan dan perkembangan sebagai berikut (lihat Tabel 4.1). Selain keempat aspek tersebut, perkembangan otak (brain) anak meru-pakan salah satu aspek yang sangat penting untuk diketahui oleh para orang tua, guru ataupun calon guru. Alasannya adalah bahwa perkembangan otak sangat berpengaruh terhadap seluruh aspek perkembangan anak. Elisabeth E. Hurlock (1981) mengatakan sebagai berikut: “Growth and development of brain and nervous system affect all aspects of the child’s development” (pertumbuhan dan perkembangan otak dan sistem syaraf berpengaruh terhadap seluruh aspek perkembangan anak). Perkembangan otak mulai terjadi sejak masa prenatal, kira-kira 25 hari se-telah masa konsepsi (pembuahan). Pada masa awal perkembangan, otak terli-hat seperti sebuah tabung yang tidak rata dan sangat halus (Rayport, 1992; Johnson, 1998). Tabung halus ini berisi sel-sel dan kemudian membentuk ruangan-ruangan yang terbagi atas tiga, yaitu forebrain (otak depan), midbrain (otak tengah), dan hindbrain (otak belakang). Seiring dengan perkembangan ja-nin, forebrain secara perlahan-lahan berkembang menjadi ruangan terbesar dari kedua ruangan lainnya. Bersamaan dengan semaking meningkatnya ke-mampuan janin memroses berbagai informasi, forebrain akan semakin besar dan midbrain akan semakin kecil. Sedangkan hindbrain relatif tetap sama be-sarnya seperti semula [Davidoff, 1988]. Tabel 4.1. Pengaruh Kelenjar Endokrin Terhadap Pertumbuhan KELENJAR ENDOKRIN HORMON YANG DIHASILKAN FUNGSI Pituitary Hormon Pertumbuhan Merangsang dan mengatur pertumbuhan sel-sel tubuh mulai dari kelahiran sampai dengan masa remaja Hormon Pemicu Memicu atau merangsang kelenjar endokrin lainnya, seperti ovarium dan testes untuk mengeluarkan hormonnya Thyroid Thyroxin Mempengaruhi pertumbuhan otak dan membantu pengaturan pertumbuhan tubuh selama masa anak-anak. Testes Tetosteron Mengatur pertumbuhan sistem reproduksi pria pada periode sebelum lahir, dan mengarahkan pertumbuhan seksual pria pada masa remaja. Ovarium Estrogen dan Progesteron Mengatur menstruasi dan mengarahkan pertumbuhan seksual wanita pada masa remaja. Adrenal Androgen Adrenal Mendorong pertumbuhan otot dan tulang. Sekitar 8 sampai 16 minggu setelah masa konsepsi, ruang-ruang otak mulai memroduksi sel-sel neuron yang bertanggung jawab untuk mentransmisi berbagai informasi dan memungkinkan anak mulai berpikir secara cerdas. Karena dibawa oleh berbagai zat kimia, neuron-neuron ini bermigrasi ke da-lam ruangan khusus, tempat di mana neuron-neuron ini dipertahankan dan di-dukung oleh sel glial untuk menjadi semakin kokoh. Segera sesudah sel neuron sampai di ruang khusus tersebut, neuron-neuron kemudian membentuk serabut saraf yang dikenal dengan axon dan dendrite (Vasta, dkk. 1992). Ketika dilahirkan, otak bayi terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel sya-raf lainnya. Neuron terdiri atas nucleus dan body cell yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel syaraf lainnya (Yusuf, 2009). Menurut sejumlah ahli syaraf, sel otak tidak akan diproduksi lagi setelah anak lahir. Artinya, otak tidak bertambah besar dengan penambahan lebih banyak neuron. Perkembangan otak setelah lahir lebih terarah kepada penambahan jumlah jaringan antarneuron. Axon menumbuhkan cabang-cabang baru yang berhubungan dengan dendrite. Ketika jumlah jaringan antarneuron meningkat, anak akan semakin mampu berpikir tentang berbagai hal yang lebih kompleks (Treays, 2004). Ketika anak-anak mencapai usia 3 tahun, ukuran otaknya ada-lah ¾ otak orang dewasa. Pada usia 5 sampai dengan 7 tahun, ukuran otak anak telah mencapai ²/3 otak orang dewasa, tetapi memiliki 5 sampai 7 kali le-bih banyak jaringan antarneuron. Sampai usia 8 tahun, ukuran otak anak sudah dapat dikatakan sempurna, tetapi cara kerjanya yang terperinci di dalam otak masih membutuhkan waktu untuk dapat berkembang secara penuh. Vasta, dkk. (1992) mengatakan bahwa struktur otak terdiri atas tiga bagi-an, yaitu (a) Brainstem: termasuk di dalamnya celebellum yang berfungsi untuk mengontrol keseimbangan dan koordinasi; (b) Midbrain: berfungsi sebagai sta-siun pengulang, penyambung, dan pengontrol pernafasan dan fungsi menelan; dan (c) Cerebrum: sebagai pusat otak paling tinggi yang meliputi belahan otak kiri dan otak kanan (left and right hemisphrese) dan berfungsi sebagai pengikat sel-sel syaraf yang berhubungan dengannya. Fungsi-fungsi otak kiri dan otak kanan dapat dilihat dalam Tabel 4.2. Tabel 4.2. Fungsi Belahan Otak Kiri dan Kanan FUNGSI OTAK KIRI FUNGSI OTAK KANAN • Bepikir rasional, ilmiah, logis, kritis, linear, analitis, referensial dan konvergen. • Berhubungan dengan kemampuan belajar membaca, berhitung, dan berbahasa. Berpikir holistik, non-linear, non-verbal, intuitif, imajinatif, non-referensial, divergen, dan bahkan mistik Sumber: Anita E. Woolfolk, 1995 Otak merupakan sistem biologis yang diciptakan untuk mengidera dunia dan segala sesuatu yang mengitarinya, dan sekaligus bereaksi terhadapnya. Otak ada untuk mengoptimalkan perilaku supaya tubuh mampu menghadapi berbagai tantangan (hambatan) dan kesempatan (peluang) yang datang setiap saat. Aktivitas sel syaraf yang terorganisasi akan dirasakan sebagai aktivitas mental yang teratur. Tidak ada satupun organ atau sel dalam tubuh kita yang terlepas dari jangkauan otak. Otak merupakan sentral dari semua aktivitas ma-nusia, baik aktivitas organ yang ada di dalam tubuh maupun aktivitas panca-indera yang berada di luar tubuh. Dalam kerangka pemikiran ini, tidaklah mengherankan jika perkembangan otak sangat berpengaruh terhadap semua aspek perkembangan lainnya, seperti keterampilan motorik, intelektual, emosio-nal, sosial, moral, dan kepribadian. McDevitt & Ormrod (2002) menulis sebagai berikut: The human brain is a complex organ that regulates basic psychological functions (e.g. respiration and heart rate), sensations of pleasure and pain, motor skill and coordination, emotional responses, and intellectual pursuit. Otak manusia merupakan organ yang kompleks yang mengatur fungsi-fungsi dasar psikologis (seperti pernafasan dan detak jantung), perasaan senang dan sakit, keterampilan motorik dan koordinasi, reaksi emosional, dan penca-paian intelektual. Pertumbuhan otak yang sehat berpengaruh positif terhadap perkem-bangan aspek-aspek lainnya, dan begitu sebaliknya. Semakin matangnya per-kembangan sistem syaraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkem-bangnya keterampilan motorik anak (Elizabeth Hurlock, 1956 dan Audrey Curtis, 1998). Perkembangan keterampilan motorik merupakan faktor yang sa-ngat penting dalam perkembangan kepribadian secara keseluruhan. Elizabeth Hurlock (1956) mencatat beberapa alasan terkait dengan fungsi perkembangan motorik bagi konstelasi perkembangan individu anak, yaitu:  Melalui keterampilan motorik anak dapat menghibur dirinya dan memer-oleh perasaan senang. Misalnya, dengan bermain boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan alat-alat permainan lainnya.  Melalui keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi atau situasi ketidakberdayaan dan ketergantungan total kepada orang lain (orang tua dan sanak-famili lain) menuju ke kondisi kemandirian dan ketidaktergan-tungan pada orang lain di sekitarnya. Anak dapat bergerak dari satu tem-pat ke tempat lainnya, dan dapat berbuat sesuatu untuk dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan rasa percaya diri (self-confindence).  Melalui keterampilan motorik anak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah. Pada usia pra-sekolah (TK) atau usia Sekolah Dasar kelas awal, anak-anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, melukis, dan baris-berbaris.  Perkembangan keterampilan motorik yang normal memungkinkan anak-anak dapat bermain atau bergaul dengan teman-teman sebayanya. Seba-liknya, perkembangan motorik yang tidak normal akan menghambat anak-anak untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya, sehingga menjadi anak yang terkucilkan dari pergaulan.  Perkembangan keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan ‘konsep diri’ dan kepribadian anak. B. Perkembangan Intelek 1. Konsep Intelek Istilah intelek cukup sering dikenal dengan istilah kognitif. Chaplin (dalam Ali & Asrori, 2011:27) mengartikan kata ‘intelek’ sebagai: (a) proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan menilai, dan kemampuan mempertimbangkan; dan (b) kemampuan mental atau inteligensi. Inteligensi merujuk kepada kemampuan untuk memberikan dasar hubungan dari sebuah proses berpikir (Shalahudin, 1989). Orang yang intelligent adalah orang yang mampu memahami dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cepat dan cermat. Kognitif merupakan salah satu aspek perkembanan anak didik yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan proses pembelajaran dan, pada gilirannya, akan sangat menentukan keberhasilan mereka di sekolah. Karena itu, guru selaku ‘pembangun’ dan ‘pembina’ interaksi edukatif dalam kelas perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang perkembangan kognitif tentang peserta didiknya. Tirtarahardja dan La Sulo (2005) mengatakan bahwa proses pendidikan hanya dapat dilakukan secara benar dan tepat sasaran jika para guru memiliki kemampuan dan gambaran yang jelas dan menyeluruh ten-tang manusia yang dididiknya. Interaksi antara guru dan para anak didik meru-pakan komponen terpenting di dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Hal senada diungkapkan juga oleh Hinde (dalam Elliot, dkk., 1996) yang mengata-kan bahwa 'interaksi antara guru dan anak didik' itu sebagai kondisi dasar yang harus terjadi dalam setiap proses pembelajaran. Menurut Mayers (dalam Desmita, 2009), kognisi merujuk kepada semua aktivitas mental yang berhubungan dengan pikiran, pengetahuan, dan pengi-ngatan kembali. Sedangkan menurut Margareth W. Matlin (dalam Desmita, 2009), kognisi atau aktivitas mental mencakup perolehan, penyimpanan, pero-lehan kembali, dan penggunaan pengetahuan. Sementara menurut Chaplin (2002), kognisi diartikan sebagai konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, mem-berikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai. Berdasarkan berbagai batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk menjelas-kan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingat-an, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan. Dengan perkataan lain, kognitif adalah semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu memelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, memikirkan, dan menilai lingkungannya. Dengan berkembang-nya kemampuan kognitif, anak dapat dengan mudah menguasai pengetahuan umum yang lebih luas, sehingga mampu menjalankan fungsinya dengan wajar dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita, 2009). 2. Teori Perkembangan Kognitif 2.1. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget Perkembangan berkaitan dengan perubahan struktur dan fungsi karakte-ristik manusia. Perubahan tersebut merupakan suatu proses kematangan, dan merupakan hasil interaksi antara potensi bawaan dengan lingkungan sekitar. Pandangan yang paling menyeluruh tentang pertumbuhan dan perkembangan kognitif diberikan oleh Jean-Piaget (1896-1980), seorang ahli psikologi kela-hiran Swiss. Jean-Piaget berhasil menemukan sebuah model yang memberikan suatu gambaran yang menyeluruh tentang bagaimana manusia berjuang untuk memaknai dunianya dengan mengumpulkan dan mengorganisasi berbagai informasi. Desmita (2009) merumuskan ide-ide dasar teori Jean Piaget sebagai berikut:  Anak adalah pemelajar yang aktif. Piaget berkeyakinan bahwa anak tidak hanya mengobservasi dan mengingat apa-apa yang mereka lihat dan dengar secara pasif. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu (curiosity) natu-ral tentang dunia mereka dan secara aktif berusaha mencari informasi un-tuk membantu pemahaman dan kesadarannya tentang realitas dunia yang mereka hadapi. Dalam usaha untuk memahami dunia mereka secara ak-tif, anak-anak menggunakan apa yang oleh Piaget disebut schema .  Anak mengorganisasi apa yang mereka pelajari dari pengalamannya. Anak-anak tidak hanya sekedar mengumpulkan apa yang mereka pelajari dari fakta-fakta yang terpisah menjadi satu kesatuan, tetapi juga secara gradual membangun suatu pandangan yang menyeluruh tentang bagai-mana dunia bergerak. Misalnya, dengan mengamati bahwa makanan, mi-numan, mainan atau objek-objek lainnya selalu jatuh, anak-anak mulai membangun pengetahuan awal tentang gravitasi.  Anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya melalui proses asi-milasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan pengeta-huan baru ke dalam pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Se-dangkan akomodasi terjadi ketika anak berusaha menyesuaikan struktur pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan lingkungannya.  Proses ekuilibrasi (equilibration) menunjukkan adanya peningkatan ke arah bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kompleks. Menurut Piaget, me-lalui kedua proses adaptasi, yaitu asimilasi dan akomodasi, sistem kognisi seseorang berkembang dari satu tahap ke tahap selanjutnya, sehingga kadang-kadang mencapai tahap equilibrium, yaitu keseimbangan antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Sayangnya, keadaan keseimbangan ini tidak dapat bertahan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebagai anak-anak yang sedang tumbuh, tidak jarang mereka berhadapan dengan situasi yang tidak dapat menjelaskan secara memuaskan tentang dunia dalam terminologi yang dipahaminya. Kondisi yang demikian dapat memunculkan dalam diri anak konflik kognitif dan disequilibrium (semacam ketidaknyamanan mental) yang mendorong anak-anak untuk mencoba membuat pemahaman tentang apa yang mereka saksikan. Dengan melakukan perubahan dan mengorganisasi kembali struktur kognitif mereka (melalui akomodasi), anak-anak akhirnya mampu memecahkan konflik, mampu memahami berbagai peristiwa yang sebelumnya sangat membingungkan, dan kembali mendapatkan keseim-bangan pemikiran mereka. Dalam menekuni perkembangan kognitif anak-anak, Jean Piaget mene-mukan bahwa pikiran anak kecil berbeda secara kualitatif dengan pikiran anak-anak yang lebih besar. Berdasarkan hasil temuannya ini, Jean Piaget menolak batasan tentang inteligensi yang melulu didasarkan pada jumlah jawaban yang benar dari suatu tes inteligensi. Karena menurut Jean Piaget (dalam Desmita, 2009), masalah inteligensi yang sesungguhnya adalah merumuskan perbeda-an berpikir pada anak-anak dalam berbagai usia. Metode yang digunakan Jean Piaget dalam penelitiannya adalah wawancara klinis (clinical interview) yang sangat fleksibel, di mana anak diberikan kesempatan untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan pewawancara dengan bebas. Demikian juga halnya, pewawancara (interviewer) diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menyu-sun dan mengajukan pertanyaan dengan bebas. Melalui metode ini diharapkan dapat diketahui secara jelas jalan pikiran si anak yang diteliti, sehingga dipero-leh suatu pemahaman yang memadai tentang mengapa muncul tanggapan yang demikian pada anak tersebut. 2.2. Teori Perkembangan Kognitif Vygotzy Lihat buku Hastuti, S. Psi. Hal. 55-65 3. Tahapan Perkembangan Kognitif Anak Jean Piaget (1962) mendeskripsikan perkembangan mental anak ke da-lam empat tahap, yaitu: (a) tahap sensomotorik, (b) tahap praoperasional, (c) tahap operasional, dan (d) tahap operasional formal. 1) Tahap Sensomotorik (Usia 0-2 tahun) Pada tahap ini anak mengalami kemajuan dalam operasi-operasi refleks, namun belum mampu membedakan apa yang ada di sekitarnya sampai pada aktivitas sensomotorik yang kompleks, sehingga terjadi formulasi baru terhadap organisasi pola-pola lingkungan. Anak mulai menyadari bahwa semua benda yang berada di sekitarnya mempunyai keberadaan, dapat ditemukan kembali, dan mulai mampu membuat hubungan-hubungan sederhana antara benda yang memiliki persamaan.Tahap sensomotorik dicirikhaskan oleh hal-hal berikut: (a) semua tindakan anak masih bersifat naluriah; (b) semua aktivitas pengalaman anak lebih didasarkan pada pengalaman indera; (c) anak sudah mulai mampu melihat dan meresapi pengalaman-pengalamannya, tetapi belum mampu mengategorikan pengalaman-pengalamannya itu; dan (d) anak mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema sensori-motoriknya. 2) Tahap Praoperasional (Usia 2 – 7 tahun) Pada tahap praoperasional, objek dan peristiwa mulai mendapatkan arti secara simbolik. Misalnya: kursi adalah tempat untuk duduk, gereja adalah tempat beribadah, sekolah adalah tempat belajar. Kemampuan anak untuk belajar tentang konsep yang lebih kompleks meningkat apabila diberikan contoh-contoh yang nyata dan familiar (yang sudah dikenal). Melalui berbagai contoh tersebut anak mendapatkan suatu gambaran ataupun kriteria yang digunakan untuk 'mendefinisikan' konsep yang disampaikan kepadanya. Karakteristik yang menonjol dalam tahapan perkembangan ini adalah sebagai berikut: (a) anak sudah bisa mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi yang diperolehnya; (b) anak sudah mampu menyampaikan alasan-alasan yang mendasari berbagai ide-ide yang dikemukakannya; (c) anak sudah memahami adanya hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa konkret, walaupun logika hubungan sebab-akibatnya belum sempurna; dan (d) cara berpikir individu anak bercorak egosentris yang dicirikhaskan oleh tingkah laku berikut: - Berpikir imajinatif - Memiliki ‘ego’ yang tinggi - Memiliki rasa ingin tahu (kuriositas) yang tinggi - Perkembangan kemampuan berbahasa mulai pesat 3) Tahap Operasional (Usia 7-11 tahun) Pada tahap ini anak mulai menyusun data ke dalam berbagai hubungan logis dan mendapatkan kemudahan untuk memanipulasi data guna memecahkan suatu masalah. Hal ini bisa dimungkinkan dan bahkan terjadi jika objek nyata memang ada dan bahwa pengalaman-pengalaman aktual pada masa lalu bisa disusun dalam suatu kerangka hubungan timbal balik atau hubungan yang berkebalikan. Menurut Piaget, anak-anak pada masa konkret operasional sudah mampu menyadari konservasi, yaitu kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara bersamaan (Johnson & Medinnus, 1974). Hal ini terutama dimungkinkan karena pada masa ini anak-anak telah mampu mengembangkan tiga jenis proses operasi, yaitu negasi, resiprokasi (hubungan timbal balik), dan identitas. Tahap operasional konkret dicirikhaskan oleh hal berikut: (a) segala sesuatu dipahami berdasarkan apa yang tampak di depan mata karena cara berpikir anak belum mampu menangkap sesuatu yang bersifat abstrak, walaupun cara berpikirnya sudah nampak logis dan sistematis; (b) dalam upaya memahami suatu konsep, anak sangat terikat pada proses mengalami sendiri. Artinya, anak dapat dengan mudah memahami makna dari suatu konsep apabila makna konsep tersebut dapat diamati atau melakukan sesuatu yag berhubungan dengan konsep tersebut. 4) Tahap Operasional Formal (Usia 11 tahun ke atas) Tahap operasional formal ditandai oleh perkembangan kegiatan (operasi) berpikir formal dan abstrak. Tahapan perkembangan ini dicirikhaskan oleh hal-hal berikut: (a) anak sudah mampu berpikir logis tentang data atau pun objek-objek yang bersifat abstrak, (b) anak sudah mampu mencapai logika berpikir yang rasional serta dapat menggunakan abstraksi; (c) anak sudah mampu menilai data berdasarkan kriteria yang diterima, (d) anak sudah mampu menyusun hipotesis dan menemukan akibat yang disebabkan oleh hipotesis tersebut, (e) membangun teori-teori dan memperoleh simpulan logis tanpa harus memiliki suatu pengalaman langsung. Menurut Piaget (dalam Desmita, 2009), perkembangan masing-masing tahap tersebut merupakan hasil dari perbaikan perkembangan tahap sebelum-nya. Artinya, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invarian (selalu tetap, tidak berubah, tidak melompat atau mun-dur). Berbagai perubahan kualitatif itu terjadi karena adanya pengorganisasian struktur berpikir dan tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingku-ngan. Untuk menunjukkan struktur kognitif yang mendasari pola-pola tingkah laku yang terorganisasi, Piaget (dalam Desmita, 2009) menggunakan istilah skema dan adaptasi. Dengan skema (struktur kognitif) dimaksudkan suatu pola sistematis dari pikiran, strategi, perilaku, dan tindakan pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tan-tangan dan situasi. Dalam diri bayi, misalnya, terlihat beberapa pola tingkah laku refleks yang terorganisasi sehubungan dengan pengetahuan tentang ling-kungan, seperti gerakan otot pada pipi dan bibir bayi yang menimbulkan gerak-an refleks mengisap. Gerakan refleks mengisap ini mempelihatkan adanya pola-pola tertentu. Gerakan refleks ini tidak terpengaruh oleh apa yang masuk ke dalam mulut, apakah itu puting susu, dot, atau ibu jari. Pola gerakan yang di-peroleh sejak lahir itulah yang disebut skema. Sedangkan adaptasi merujuk kepada istilah yang digunakan Piaget untuk menunjukkan pentingnya pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses perkembangan kognitif. Piaget berkeyakinan bahwa manusia, ketika di-lahirkan telah dilengkapi dengan kebutuhan dan kemampuan untuk menyesuai-kan diri dengan lingkungannya. Adaptasi terdiri dari proses yang saling meleng-kapi, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dengan asimilasi dimaksudkan integrasi antara elemen-elemen eksternal terhadap struktur yang sudah lengkap dalam organisme. Asimilasi kognitif merujuk kepada proses perubahan objek eksternal menjadi pengetahuan internal (Lerner & Hultsch, 1983). Proses asimilasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap saat manusia selalu mengasimilasi berbagai informasi yang sampai kepadanya, dan kemudian mengelompokkan informasi-informasi tersebut ke dalam istilah-istilah yang sudah diketahui sebe-lumnya. Misalnya, bayi secara refleks mengisap susu ibunya atau susu dot yang disodorkan kepadanya. Bayi tersebut akan melakukan tindakan yang sa-ma, yaitu mengisap, terhadap semua objek baru yang ditemukannnya, seperti bola karet atau jari tangan. Sedangkan akomodasi lebih merujuk kepada usaha menciptakan langkah baru (pembaharuan) dengan menggabungkan istilah lama untuk menghadapi tantangan yang baru. Akomodasi kognitif berarti mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya untuk disesuaikan dengan objek stimulus ekster-nal. Perbedaan antara asimilasi dan akomodasi terletak dalam kenyataan:  Dalam proses asimilasi, yang berubah adalah objek eksternal yang dike-tahui. Perilaku bayi yang mengisap semua objek (susu ibunya, dot, bola karet, dan jari tangan) merupakan contoh proses asimilasi.  Dalam proses akomodasi, yang berubah adalah subjeknya. Struktur kog-nitif atau pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya diubah atau di-perbaharui, supaya sesuai dengan objek yang ada di luar dirinya. Piaget berpendapat bahwa setiap organisme yang ingin melakukan adap-tasi (penyesuaian) dengan lingkungannya harus mencapai titik keseimbangan (ekuilibrium) antara aktivitas individu terhadap lingkungannya (asimilasi) dan akitivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi). Artinya, ketika individu be-reaksi terhadap lingkungan, dia sesungguhnya menggabungkan stimulus dunia luar dengan struktur yang sudah ada dalam dirinya (asimilasi). Dan ketika ling-kungan bereaksi terhadap individu, dia sesungguhnya tengah berjuang untuk mengubah struktur yang sudah dimilikinya supaya sesuai dengan stimulus dunia luar (akomodasi). 3. Karakteristik Perkembangan Kognitif Anak Didik 3.1. Anak Usia Sekolah Dasar Berdasarkan teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak pada usia sekolah dasar masuk dalam tahap pemikiran konkret-operasional. Artinya, anak-anak usia sekolah dasar sudah mampu untuk berpikir melalui urutan sebab akibat dan mulai mengenali banyaknya cara yang dapat ditempuh untuk menyelesai-kan permasalahan yang dihadapinya. Anak pada usia sekolah dasar bahkan sudah dapat mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi serta mengetahui beberapa aturan dan strategi berpikir, seperti mengurutkan sesuatu secara berseri, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, serta mampu memahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 3 x 4 = 12; atau 12:4 = 3. Pemahaman anak-anak usia sekolah dasar tentang ruang dan waktu (spatial relations) pun semakin baik, sehingga mereka dapat dengan mudah menemukan jalan ke luar pada ruangan yang lebih kompleks. Mereka bahkan sudah bisa menemukan jalan kembali ke rumah pada saat tertinggal sendiri di pasar Ampera Merauke. Dalam usahanya untuk memahami alam sekitarnya, anak-anak usia seko-lah dasar sudah tidak terlalu mengandalkan informasi yang disajikan oleh pan-caindera, karena mereka sudah mampu membedakan apa yang nampak oleh mata dengan kenyataan yang sebenarnya, dan antara apa yang bersifat se-mentara dengan yang bersifat menetap. Demikian misalnya, anak-anak akan segera mengetahui bahwa air yang ditempatkan pada sebuah gelas berukuran kecil dan kemudian dipindahkan ke sebuah gelas lain yang berukuran besar memiliki jumlah yang tetap sama karena tidak satu tetes pun yang tumpah keti-ka dipindahkan. Hal ini terutama dimungkinkan karena anak-anak pada masa kongkret operasional sudah mampu menghitung, mengukur, dan menimbang, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, mereka dapat mengetahui bah-wa jumlahnya akan tetap sama (Gunarsa, 1990). Dalam contoh air yang dipin-dahkan dari gelas berukuran kecil ke gelas yang berukuran besar, anak-anak sudah tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannya terhadap tinggih ren-dahnya permukaan air pada dua gelas tersebut, tetapi mereka sudah mampu menggunakan logika berpikirnya. 3.2. Anak Usia Remaja (SMP dan SMA) Mengacu kepada teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia remaja masuk dalam tahap pemikiran operasional formal, yaitu suatu tahap perkem-bangan kognitif yang dimulai pada saat anak-anak berusia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai anak-anak tersebut mencapai usia dewasa (Lerner & Hultsch, 1983). Pada tahap ini anak-anak sudah bisa berpikir secara abstrak dan hipotesis, sehingga mereka mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang sebenarnya masih sangat abstrak. Anak-anak usia remaja sudah mampu mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan pada masa yang akan datang. Mereka bahkan sudah mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan membuat perencanaan kegiatan terdahulu dan berusaha mengantisipasinya dengan mengumpulkan berbagai informasi yang akan diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Anak-anak usia remaja juga sudah mampu menggunakan simbol untuk menggambarkan sesuatu, misalnya menggunakan huruf Y untuk menggambar-kan sebuah angka yang tidak mereka ketahui. Karena itu, anak-anak usia re-maja sudah mampu belajar aljabar dan kalkulus. Anak-anak usia remaja sudah bisa menghargai metafora dan alegori secara lebih baik, sehingga mereka bisa menemukan makna yang lebih kaya melalui literatur (Papalia, Old & Feldman, 2008). 4. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif Terhadap Pendidikan 4.1. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget Teori kognitif Piaget sesungguhnya dimaksudkan untuk menjelaskan dan memberikan suatu pemahaman yang memadai tentang bagaimana kognisi anak-anak berkembang. Piaget tidak banyak menulis tentang pendidikan dan bahkan tidak pernah bermaksud memberikan semacam sugesti kepada para guru untuk menerapkan teori-teori yang dikemukakannya di dalam kelas. Na-mun, dalam perkembangan selanjutnya, teori kognitif Piaget ternyata dapat dija-dikan acuan dalam proses pelaksanaan pendidikan di sekolah pada umumnya dan dalam kelas pada khususnya. Tidak sedikit guru yang mendapatkan inspi-rasi dari teori kognitif Piaget untuk merancang kurikulum dan menentukan stra-tegi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi perkembangan kognitif anak didiknya. McDevitt & Ormrod (2002) merilis beberapa implikasi teori kognitif Piaget bagi guru-guru di sekolah, yaitu:  Guru dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk melakukan percobaan atau eksperimen terhadap berbagai objek fisik dan berbagai fenomena alam.  Guru dapat mengeksplorasi kemampuan ‘menalar’ anak didik dengan mengajukan berbagai pertanyaan penelaahan dan/atau dengan memberi-kan tugas-tugas yang berbasis pemecahan masalah.  Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget dapat dijadikan sebagai acuan oleh para guru dalam menginterpretasikan tingkah laku anak didik dan mengembangkan rencana pembelajaran.  Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget dapat memberikan petunjuk bagi para guru dalam menentukan dan memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkatan kelas yang berbeda.  Guru dapat merancang aktivitas kelompok di mana para anak didik dapat saling berbagi pandangan dan keyakinannya. Piaget berkeyakinan bahwa belajar semestinya menjadi sebuah proses penemuan aktif dan harus di-sesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak didik. Menurut Piaget, interaksi dengan teman sebaya dapat membantu anak didik me-mahami bahwa orang lain memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia, dan bahwa ide-ide mereka sendiri tidak selamanya tepat dan akurat. Melalui interaksi dengan teman-teman sebayanya, anak dapat belajar untuk menghargai pandangan dan ide-ide orang lain. 4.2. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif Vygotzy Terhadap Pendidikan Lihat buku Hastuti, S. Psi. Hal. 55-65 C. Perkembangan Inteligensi 1. Konsep Inteligensi Inteligensi atau kecerdasan merujuk kepada gambaran perilaku individu yang berhubungan dengan kemampuan intelektual. Menurut Anita E. Woolfolk (1995), inteligensi merujuk kepada tiga kemampuan berikut: (a) kemampuan untuk belajar; (b) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (c) kemampu-an untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru atau lingkungan pada umum-nya. Berdasarkan ketiga arti ini, Woolfolk memaknai inteligensi sebagai satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan mengolah pengetahuan da-lam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan. Hal se-nada dikemukakan juga oleh Chaplin (1975) yang mengartikan inteligensi seba-gai kemampuan untuk secara cepat dan efektif menghadapi dan menyesuaikan diri dengan situasi baru. Alfred Binet (dalam Sumadi S., 1984) mengatakan bahwa pada hakikatnya ada tiga jenis kecerdasan, yaitu (a) kemampuan untuk menetapkan dan mem-perjuangkan tujuan tertentu. Semakin cerdas seorang anak, dia akan semakin cakap dalam berinisiatif dan berjuang mencapai tujuannya sendiri, tanpa harus diperintah; (b) kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; dan (c) kemampuan untuk melakukan otokritik . Ada banyak teori tentang inteligensi yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam buku ini penulis hanya akan menampilkan tiga di antaranya, yaitu (a) teori primary mental abilities; (b) teori triachic of intelligence; dan (c) teori multiple intelligences. 1.1. Teori Primary Mental Abilities Tokoh pengembang teori ini adalah Thurstone. Menurut Thurstone (1938), inteligensi merupakan manifestasi dari berbagai kemampuan primer yang dimiliki manusia, yaitu: (a) verbal comprehension: kemampuan berbahasa; (b) memory: kemampuan mengingat; (c) reasoning: kemampuan menalar atau berpikir secara logis; (d) special factor: kemampuan untuk melakukan tilikan ruang; (e) numerical ability: kemampuan bilangan; (f) word fluency: kemampuan untuk menggunakan kata-kata; dan (g) perceptual speed: kemampuan untuk mengamati secara cepat dan cermat. 1.2. Teori Trichic of Intelligence Teori triachic of intelligence merupakan pendekatan proses kognitif untuk memahami inteligensi. Tokoh pengembang teori ini adalah Robert Stenberg. Stenberg (1985, 1990) memaknai triachic of intelligence sebagai deskripsi tiga bagian mental, yaitu proses berpikir, mengatasi pengalaman atau masalah baru, dan penyesuaian diri terhadap situasi yang dihadapi. Menurut Stenberg, tingkah laku inteligen merupakan produk atau hasil dari penerapan strategi berpikir, pengentasan masalah-masalah baru secara kreatif dan cepat, dan penyesuaian diri terhadap situasi atau konteks kehidupan melalui seleksi dan adaptasi dengan lingkungan. Aspek-aspek teori triachic of intelligence dari Stenberg dapat disimak secara visual dalam Tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3. Aspek-aspek Teori Triachic Stenberg No. A s p e k K e m a m p u a n 1 Contextual Intelligence Mampu untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan mengubah dunia (lingkungan) untuk mengoptimalkan berbagai peluang serta mampu memecahkan masalah. 2 Experiential Intelligence Mampu merumuskan berbagai gagasan baru dan mengkombinasikan fakta-fakta yang tidak berhubungan, serta mampu mengatasi masalah baru secara cepat. 3 Componential Intelligence Mampu untuk berpikir abstrak, memproses informasi, dan menentukan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang akan dipenuhi. 1.3. Teori Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences) 1.3.1. Tokoh Pengembang dan Aspek-Aspek Kecerdasan Ganda Tokoh pengembang teori multiple intelligences atau kecerdasan ganda adalah J. P. Guilford dan Howard Gardner. Tanpa bermaksud mendiskreditkan pandangan J. P. Guilford, di sini penulis hanya akan menampilkan teori kecer-dasan ganda yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Gardner (1993) mem-bagi inteligensi ke dalam tujuh jenis. Aspek-aspek teori inteligensi Gardner dapat disimak secara visual dalam Tabel 4.4. Tabel 4.4. Aspek-Aspek Inteligensi Menurut Gardner NO. A S P E K K E M A M P U A N I N T I 1 Logical Mathematic Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan numerik (bilangan) serta kemampuan untuk berpikir rasional atau logis. 2 Linguistic Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa. 3 Musical Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasi ritme nada (warna nada), dan bentuk-bentuk ekspresi musik. 4 Spatial Kemampuan mengekspresi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut. 5 Bodily Kinestetic Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan menangani objek-objek secara terampil. 6 Interpersonal Kemampuan untuk mengamati dan merenspons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain. 7 Intrapersonal Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan, kelemahan, dan inteligensi diri sendiri. 1.3.2. Kecerdasan Ganda dan Aktivitas Belajar Lihat buku Hastuti, S. Psi. Hal. 94 – 102 1.3.3. Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Kecerdasan Ganda Lihat buku Hastuti, S. Psi. Hal. 103 2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Lihat buku Hastuti, S. Psi. Hal. 80-84 3. Implikasi Perkembangan Inteligensi Terhadap Proses Belajar Syaodih dan Surya (1975) merunut beberapa ciri yang berhubungan dengan tingkatan inteligensi dan pengaruhnya terhadap proses belajar sebagai berikut:  Idiot (IQ 0-29) Anak-anak idiot biasanya tidak bisa berbicara karena hanya mampu mengucapkan beberapa kata saja. Mereka bahkan tidak mampu mengu-rus dirinya sendiri, seperti makan, minum, mandi, dan berpakaian. Per-kembangan inteligensi anak-anak idiot umumnya sama dengan anak-anak usia dua tahun. Usia anak-anak idiot umumnya tidak panjang karena se-lain inteligensinya sangat rendah, kondisi badannya pun sangat rentan terhadap penyakit. Anak-anak idiot hampir tidak pernah dijumpai dalam sekolah biasa atau bahkan sekolah luar biasa.  Imbecile (IQ 30-40) Kelompok anak imbecile setingkat lebih tinggi dari anak-anak idiot. Anak-anak imbecile dapat belajar membaca dan dapat mengurus dirinya sendiri, walaupun harus diawasi dengan teliti. Kepada anak-anak imbecile dapat diberikan latihan-latihan ringan, tetapi dalam kehidupannya mereka selalu bergantung kepada orang lain dan tidak dapat mandiri. Tingkat kecerda-sannya sama dengan anak normal berusia 3-7 tahun. Anak-anak imbecile tidak bisa dididik pada sekolah-sekolah biasa.  Moron atau Debil (IQ 40-69) Sampai pada tingkat tertentu, kelompok anak-anak moron dapat belajar membaca, menulis, dan membuat berbagai perhitungan serderhana. Me-reka bahkan dapat diberikan pekerjaan rutin tertentu yang tidak memerlu-kan perencanaan dan pemecahan. Anak-anak debil ini umumnya menda-patkan pendidikan pada sekolah-sekolah luar biasa.  Bodoh (IQ 70-79) Kelompok anak-anak ini dapat melanjutkan sekolah sampai pada tingkat Sekolah Menengah Pertama, meskipun harus dengan sangat bersusah payah menyelesaikan kelas-kelas terakhir.  Normal Rendah (IQ 80-89) Kelompok anak-anak ini termasuk kelompok normal, tetapi berada pada tingkat paling bawah. Kelompok anak-anak ini biasanya sangat lambat dalam belajar. Mereka dapat menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama, tetapi akan menghadapi banyak kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas pada jenjang Sekolah Menengah Atas.  Normal Sedang (IQ 90-109) Anak-anak ini termasuk dalam kelompok normal atau rata-rata. Kelom-pok ini merupakan yang terbesar persentasenya dalam populasi pendu-duk. Kelompok anak-anak ini dapat melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat perguruan tinggi, walaupun harus penuh dengan perjuangan.  Normal Tinggi (IQ 110-119) Kelompok anak-anak ini merupakan kelompok individu yang normal, tetapi berada pada tingkat yang tinggi. Mereka dapat melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, dan biasanya tidak mengalami ba-nyak kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan atau pun tugas-tugas aka-demik.  Cerdas atau Superior (IQ 120-129) Kelompok ini sangat berhasil dalam pekerjaan sekolah. Seringkali mereka masih dapat dijumpai di dalam kelas biasa. Pimpinan kelas biasanya bera-sal dari kelompok ini.  Sangat Cerdas (IQ 130-139) Kelompok anak-anak ini sangat cakap dalam membaca dan memiliki per-bendaharaan kata yang sangat luas. Mereka bahkan memiliki pengeta-huan yang sangat baik tentang bilangan dan mampu memahami dengan sangat cepat suatu pengertian yang abstrak. Pada umumnya, anak-anak kelompok ini memiliki tingkat kesehatan, kekuatan, dan ketangkasan lebih menonjol dari anak-anak normal.  Genius (IQ 140 ke atas) Kelompok anak-anak ini memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Umumnya mereka memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan sesuatu yang baru, walaupun mereka tidak bersekolah. Ke-lompok ini berada pada semua ras dan bangsa, dalam semua tingkat eko-nomi, laki-laki ataupun perempuan. Contoh orang genius adalah Einstein. D. Perkembangan Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri merupakan aspek perkembangan psikososial para anak didik yang sangat penting dipahami oleh para guru, karena merupakan salah satu va-riabel yang menentukan dalam proses pembelajaran di sekolah. Rendahnya motivasi dan prestasi belajar serta penyimpangan-penyimpangan perilaku anak didik dalam kelas banyak disebabkan oleh persepsi negatif anak didik terhadap dirinya sendiri. Kesulitan belajar siswa seringkali juga disebabkan oleh sikap anak didik sendiri yang memandang dirinya tidak mampu melaksanakan atau menyelesaikan semua tugas sekolah (Desmita, 2009). Ada banyak pendapat tentang konsep diri yang dikemukakan oleh para ahli. Tanpa bermaksud mendiskreditkan berbagai definisi lainnya, dalam buku ini penulis hanya menampilkan beberapa definisi di antaranya sebagai berikut.  Atwater (dalam Desmita, 2009) Konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri yang meliputi persepsi se-seorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubung-an dengan dirinya. Atwater selanjutnya mengidentifikasi konsep diri dalam tiga bentuk, yaitu (a) body image: kesadaran seseorang tentang tubuhnya, mencakup bagaimana orang tersebut menilai dirinya sendiri; (b) ideal self: bagaimana harapan dan cita-cita seseorang tentang dirinya sendiri; dan (c) social self: bagaimana orang lain melihat dan menilai dirinya.  Seifert dan Hoffnung (1994) Konsep diri adalah suatu pemahaman atau ide tentang diri sendiri.  Burns (1982) Konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri sendiri.  Cawagas (1983) Konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihan atau keca-kapannya, kegagalannya, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis lebih cenderung kepada definisi yang diberikan oleh Atwater. Menurut penulis, konsep diri merujuk kepa-da bagaimana seseorang menggambarkan dirinya berdasarkan apa yang dia yakini dan rasakan tentang dirinya sendiri di hadapan orang lain. Dalam kerang-ka berpikir anak didik, konsep diri adalah keseluruhan gambaran anak didik ten-tang dirinya berdasarkan apa yang dia yakini dan rasakan tentang dirinya sendi-ri di hadapan guru dan teman-temannya. Menurut hemat penulis, kehadiran orang lain, terlebih khusus guru, yang ‘memandang’ dan ‘menilai’ merupakan salah satu faktor yang turut memberikan bobot kepada cara seorang anak didik memandang dan menilai dirinya sendiri. Guru, selaku orang tua anak didik di sekolah, memiliki peran sangat penting dalam membantu para anak didik me-ngembangkan keyakinan dan harga diri mereka melalui pemberian penilaian dan/atau penghargaan yang bersifat positif. Hanya atas cara demikian para anak didik dapat mengkonsepsi dan mengaktualisasikan dirinya secara positif. Sebaliknya, penilaian yang negatif terhadap anak didik akan memberikan pe-ngalaman yang tidak mengenakkan dalam diri mereka. Anak didik akan me-ngonsepsi dan mengaktualisasikan dirinya secara negatif. 2. Konsep Diri dan Perilaku Anak Didik Konsep diri memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan tingkah laku seorang anak didik. Bagaimana anak didik memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya, karena perilaku anak didik selaras dengan cara anak didik tersebut memandang dirinya sendiri. Apabila anak didik memandang dirinya tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan tersebut. Felker (dalam Desmita, 2009) merilis tiga peranan penting konsep diri dalam menentu-kan perilaku seseorang, yaitu:  Self-concept as maintainer of inner consisntency Konsep diri sebagai pemelihara ketetapan batin merujuk kepada peranan konsep diri dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang. Apabila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang saling berten-tangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang sangat tidak menye-nangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan ke-sesuaian antara individu dengan lingkungannya. Cara individu menjaga kesesuaian tersebut antara lain dapat dilakukan dengan: (a) menolak gambaran yang diberikan lingkungan terhadap dirinya, atau (b) mengubah dirinya sendiri agar sesuai dengan apa yang dikatakan lingkungan.  Self-concept as an interpretation of experience Konsep diri merupakan interpretasi pengalaman mengacu kepada pera-nan konsep diri dalam menentukan bagaimana individu menafsirkan pengalamannya sendiri. Seluruh sikap dan pandangan individu tentang dirinya sangat berpengaruh terhadap cara individu menafsirkan penga-lamannya. Tafsiran negatif terhadap pengalaman hidup umumnya lebih disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif individu terhadap dirinya sendiri, dan begitu sebaliknya.  Self-concept as a set of expectation Konsep diri merupakan satu kumpulan pengharapan merujuk kepada peran konsep diri sebagai penentu pengharapan individu. Anak didik yang memandang negatif dirinya sendiri menyebabkan anak didik tersebut mengharapkan tingkat keberhasilan yang rendah. Patokan yang rendah tersebut menyebabkan anak didik tersebut tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi yang gemilang (Pudjijogyanti, 1993). 3. Konsep Diri dan Prestasi Belajar Konsep diri dan prestasi belajar anak didik di sekolah memiliki hubungan yang sangat erat. Berikut ini adalah dua laporan hasil penelitian para ahli yang mendukung penegasan tentang adanya kaitan yang sangat erat antara konsep diri dan prestasi belajar anak didik di sekolah.  Penelitian yang dilakukan oleh Fink (dalam Burns, 1982) terhadap sejum-lah siswa laki-laki dan perempuan yang dipasangkan berdasarkan tingkat inteligensi mereka menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsep diri antara anak didik yang tergolong overachiever dan underachiever. Anak didik yang tergolong overachiever menunjukkan konsep diri yang lebih po-sitif daripada siswa underachiever.  Penelitian yang dilakukan oleh Walsh (dalam Burns, 1982) menunjukkan bahwa para anak didik yang tergolong underachiever cenderung memiliki konsep diri yang negatif dan memperlihatkan beberapa karakter kepriba-dian sebagai berikut: (a) memiliki perasaan ditolak dan diisolasi oleh orang-orang di sekitarnya; (b) melakukan defensive mechanism atau me-kanisme pertahanan diri yang kuat dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menantang; dan (c) tidak mampu mengekspresikan perasaan dan perilakunya. Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak didik yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang lebih positif. Keberhasilan yang diraihnya dipandang sebagai hasil dari kerja dan perjuangannya sendiri. Sebaliknya, anak didik yang berprestasi rendah cende-rung memiliki konsep diri yang negatif. Anak didik dengan prestasi rendah cenderung memandang dirinya tidak mampu dan bahkan memandang orang lain di sekitarnya sebagai yang menolak atau tidak dapat menerima dirinya. Keberhasilan yang diraihnya lebih dipandang sebagai suatu kebetulan dan bukan karena kemampuan yang dimilikinya (Desmita, 2009). 4. Implikasi Perkembangan Konsep Diri Anak Didik Terhadap Pendidikan Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa konsep diri berpe-ngaruh terhadap perilaku anak didik dan bahkan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan prestasi belajar para anak didik. Anak didik yang menga-lami banyak permasalahan di sekolah pada umumnya menunjukkan tingkat konsep diri yang rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pembe-lajaran dalam kelas dan kualitas pendidikan pada umumnya, guru perlu mela-kukan berbagai upaya yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kon-sep diri para anak didiknya. Desmita (2009) merunut beberapa strategi yang da-pat dilakukan guru untuk mengembangkan dan meningkatkan konsep diri para anak didik, yaitu:  Membuat anak didik merasa mendapatkan dukungan dari gurunya Guru dapat mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri anak didik melalui dukungan yang diberikannya kepada anak didik, antara lain de-ngan: perhatian, kepedulian, hormat terhadap ungkapan perasaan dan pe-ngalaman pribadi anak didik, rasa empati terhadap kehidupan anak didik.  Membuat anak didik merasa bertanggung jawab Guru dapat mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri anak didik melalui pemberian tanggung jawab kepada anak didik untuk membuat keputusan sendiri tentang sikap dan perilakunya yang terkait dengan proses pembelajaran di sekolah. Pemberian tanggung jawab ini akan membuat anak didik merasa memiliki peranan, dihargai, dan diikurserta-kan dalam seluruh kegiatan pendidikan.  Membuat anak didik merasa mampu Guru dapat juga mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri anak didik melalui sikap dan pandangannya yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki anak didik. Guru seyogyanya berpandangan bahwa pada dasarnya semua anak didiknya mampu, hanya saja belum dikembang-kan secara baik. Sikap dan pandangan positif guru terhadap kemampuan yang dimiliki anak didik, pada gilirannya, dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri anak didik akan kemampuan yang dimilikinya.  Mengarahkan anak didik mencapai tujuan yang realistis Guru dapat juga mengembangkan konsep diri yang positif dalam diri anak didik dengan membantu anak didik untuk secara realistis menetapkan tujuan yang hendak dicapainya dalam proses pendidikan di sekolah dan kehidupan pada umumnya. Penetapan tujuan yang realistis dapat dilaku-kan dengan mengacu kepada prestasi yang telah diraih anak didik pada masa lampau.  Membantu anak didik menilai dirinya secara realistis Kegagalan yang dialami anak didik tidak jarang menjerumuskannya ke dalam kecenderungan untuk menilai dirinya sebagai orang yang tidak mampu. Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, guru dapat membantu para anak didik untuk memiliki konsep diri yang positif melalui: (a) penilai-an yang realistis atas prestasi yang telah dicapai, dan (b) peningkatan prestasi belajar di kemudian hari. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru dalam membantu anak didik untuk menilai diri mereka secara realis-tis adalah dengan membandingkan prestasi belajar anak didik pada masa lampau dengan saat ini. Atas cara ini guru dapat membangkitkan minat dan motivasi belajar anak didik.  Mendorong anak didik untuk secara realistis bangga dengan dirinya sendiri Upaya lain yang dapat dilakukan guru dalam membantu anak didik untuk memiliki konsep diri yang positif adalah dengan memberikan dorongan kepada anak didik untuk bangga dengan prestasi belajar yang telah diraihnya. Hal ini sangat penting karena kebanggaan atas prestasi belajar yang telah dicapai merupakan salah satu kunci untuk secara positif memandang diri dan segenap kemampuan yang dimiliki. E. Perkembangan Moral 1. Konsep Moral Kata bahasa Indonesia ‘moral’ diturunkan dari kata bahasa Latin mos yang berarti adat kebiasaan. Adat kebiasaan menunjuk kepada nilai-nilai dan asas-asas moral tertentu yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai dan asas-asas moral ini biasanya mewujud dalam bentuk norma-norma yang menjadi pegangan hidup bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku hidupnya. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku hidupnya untuk mencapai ideal hidup yang dianggap baik dan benar. Velasques (2005) mengemukakan beberapa hal yang mencirikhaskan penentuan hakikat standar moral, yaitu: (a) standar moral berkaitan dengan persoalan yang secara serius merugikan atau yang benar-benar akan meng-untungkan manusia; (b) standar moral ditetapkan atau diubah berdasarkan keputusan dewan otoritatif tertentu; (c) standar moral tidak ditetapkan oleh ke-kuasaan; (d) validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digu-nakan untuk mendukung atau membenarkannya. Artinya, sejauh nalarnya mencukupi maka standarnya tetap sah; (e) standar moral harus lebih diuta-makan daripada nilai-nilai yang lain, apalagi kepentingan pribadi; (f) standar moral didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak; dan (g) standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, seperti: jika kita melanggar norma moral maka batin kita akan tidak tenang dan kita akan selalu dihantui oleh rasa bersalah, malu ataupun menyesal. Dengan ‘nilai moral’ dimaksudkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Sedangkan dengan ‘norma moral’ dimaksudkan seperangkat aturan tentang bagaimana manusia harus berperilaku supaya menjadi baik. Dalam bahasanya Magnis-Suseno (1987), ‘norma moral’ merupakan neraca ukur untuk menentukan benar atau salahnya sikap dan tindakan maanusia dilihat dari segi baik- buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Nilai dan norma moral terhimpun dalam apa yang kita sebut sebagai moralitas. Moralitas diartikan sebagai keseluruhan sistem nilai dan norma ten-tang bagaimana manusia harus bersikap dan berperilaku agar dapat disebut baik sebagai manusia. Sistem nilai ini mewujud dalam pelbagai bentuk ajaran moral seperti petuah, nasihat, amanat, wejangan, peraturan, perintah, dlsb. yang diwariskan secara turun temurun, antara lain melalui keluarga, lembaga agama dan lembaga Negara (Magnis-Suseno, 1989). Moralitas memberikan kepada manusia petunjuk kongkrit tentang bagaimana dia harus hidup dan bertindak, bersikap dan berperilaku agar menjadi manusia yang baik, serta bagaimana dia harus menghindari sikap dan perilaku yang tidak baik. 2. Faktor-Faktor Penentu Perkembangan Moral Perkembangan moral seorang anak banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan lainnya yang lebih luas. Anak-anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orang tua. Orang tua memegang peranan yang sangat penting dan menentu-kan dalam mengembangkan moral anak. Sehubungan dengan perkembangan moral anak, Yusuf (2009) merunut beberapa sikap yang perlu diperhatikan oleh para orang tua.  Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam mem-bolehkan atau melarang tingkah laku tertentu kepada anak. Selain itu, orang tua juga harus konsisten. Artinya, suatu perbuatan atau sikap yang pada hari ini tidak diperbolehkan, harus tetap tidak diperbolehkan pada hari-hari selanjutnya.  Sikap dan perilaku orang tua sendiri secara tidak langsung dapat ber-pengaruh bterhadap perkembangan moral anak, karena anak-anak akan selalu meniru. Melalui proses imitasi, anak-anak akan melakukan apa yang dilakukan kedua orang tuanya. Sikap orang tua yang keras (otoriter) cenderung akan melahirkan sikap disiplin semu pada diri anak. Sedang-kan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh terkadang cende-rung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang me-medulikan norma pada diri anak-anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh para orang tua adalah sikap penuh kasih sayang, dialogis, terbuka, dan konsisten.  Orang tua merupakan panutan atau teladan bagi anak-anak, termasuk pa-nutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim religius dalam diri anak-anaknya, anak-anak tersebut cenderung me-miliki perkembangan moral yang baik.  Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya sendiri dari perilaku berbo-hong dan tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk selalu sopan dalam bertutur kata, bertanggung jawab, taat beragama, dan tidak berbohong, tetapi mereka sendiri menampilkan sikap dan perilaku yang sebaliknya, maka anak-anak akan mengalami konflik batin. Anak-anak, pada gilirannya, akan menggunakan ‘ketidakkonsistenan kata dan perbuatan orang tuanya itu’ sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diajarkan kepada mereka, dan bahkan akan bersikap dan berperi-laku seperti kedua orang tuanya. 3. Proses Perkembangan Moral 3.1. Proses Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget Jean Piaget menggambarkan perkembangan moral melalui aturan per-mainan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukannya terhadap berbagai aturan permainan yang digunakan oleh anak-anak, Piaget (dalam Seifert & Hoffnung, 1994) berkesimpulan bahwa pemikiran anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan atas dua tahap, yaitu (a) tahap heteronomous morality, dan (b) tahap authonomous morality.  Heteronomous Morality Istilah lain untuk heteronomous morality adalah morality of constrain. Heteronomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 6 – 9 tahun. Dalam tahap ber-pikir ini, anak-anak menghormati berbagai ketentuan permainan sebagai sesuatu yang bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati. Anak-anak pada usia ini yakin akan keadilan ima-nen, yaitu suatu konsep bahwa hukuman pasti akan segera dijatuhkan bila suatu aturan dilanggar. Pelanggaran diasosiasikan secara otomatis de-ngan hukuman. Setiap pelanggaran pasti akan dihukum berdasarkan ting-kat pelanggaran yang telah dilakukan, tanpa peduli apakah pelanggaran itu disengaja atau tidak.  Authonomous Morality Istilah lain untuk authonomous morality adalah morality of cooperation. Authonomous morality mengacu kepada tahapan perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 – 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa berbagai aturan dan hukum yang ada di muka bumi ini merupakan buatan manusia, dan bahwa hukuman yang dikena-kan atas suatu tindakan pelanggaran harus mempertimbangkan maksud pelaku dan akibat-akibatnya. Bagi anak-anak usia ini, penerapan suatu aturan lebih didasarkan pada masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah disepakati bersama. Atas dasar pemikiran ini, suatu perubahan hanya akan diterima dan diakui berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Pada tahap perkembangan moral ini, anak-anak sudah mampu mening-galkan penghormatan yang sepihak kepada otoritas yang telah menetap-kan aturan dan mengembangkan penghormatan terhadap teman-teman sebayanya. Mereka akan lebih taat dan patuh kepada peraturan kelompok sebaya daripada peraturan yang ditetapkan oleh otoritas tertentu. 3.2. Proses Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Sarjana lain yang meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk memelajari fenomena moral dari sudut pandangan psikologi adalah Lawrence Kohlberg (1927-1988). Dalam seluruh karyanya Kohlberg mengakui ketergantungannya pada psikolog Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Kohlberg memperluas usaha Piaget dalam dua cara, yaitu (a) Kohlberg melakukan penelitiannya tentang orang berumur 6-28 tahun, yang sebagian besar telah diikutinya dari masa anak-anak sampai dewasa. Artinya, sesudah jangka waktu tertentu dia menyeli-diki orang yang sama supaya dapat menentukan perkembangan moralnya; dan (b) Kohlberg memperluas horizon kultural dengan mengikutsertakan dalam penelitiannya subjek-subjek dari negara dan kebudayaan lain (tidak hanya di Amerika tempat dia sendiri hidup) seperti Malaysia, Taiwan, Mexico, dan Turki. Kohlberg yakin bahwa hasil penelitiannya berlaku secara transkultural dan tidak terbatas pada suatu kebudayaan tertentu saja. Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut enam tahap atau fase, tetapi tidak setiap anak berkembang dengan cepat, sehingga tahap-tahap itu tidak dengan pasti dapat dikaitkan dengan umur tertentu. Bisa terjadi juga bahwa seorang anak terfiksasi dalam suatu tahap dan tidak akan berkem-bang lagi. Menurut Kohlberg (dalam Bertens, 2001), enam tahapan (stages) dalam perkembangan moral dapat dikaitkan sedemikian rupa ke dalam tiga tingkat, sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Kohlberg baru mulai penelitiannya pada anak-anak berumur sekitar enam tahun, karena dia berkeyakinan bahwa perkembangan moral tidak dimulai bersamaan dengan kehidupan seorang manusia. Selama tahun-tahun pertama belum terdapat kehi-dupan moral dalam arti yang sebenarnya. Jika anak kecil membedakan antara baik dan buruk, hal itu hanya kebetulan terjadi dan jarang sekali perbedaan seperti itu didasarkan atas norma-norma atau kewibawaan moral. Penilaian moral pada anak kecil itu belum mempunyai suatu struktur yang jelas. Karena itu bisa dikatakan bahwa tiga tingkat tadi didahului oleh suatu periode pra-moral. 1) Tingkat Prakonvensional Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dihubungkan de-ngan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya diten-tukankan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawakan oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau hal yang menyenangkan. Yang mencolok ialah bahwa motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan bisa mengalami banyak perubahan. Pada tingkat pra-konvensional ini dapat dibedakan dua tahap: Tahap 1: Orientasi Hukuman dan Kepatuhan Pada tahap ini anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila dia tidak pa-tuh. Anak kecil tidak memukul adiknya karena hal itu dilarang oleh ibu dan melanggar larangan ibu akan membawa hukuman. Perspektif anak sangat egosentris. Dia membatasi diri pada kepentingan orang lain. Ketakutan pa-da akibat adalah perasaan dominan yang menyertai motivasi moral ini. Tahap 2: Orientasi Instrumen Relatif Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen (alat) dapat memenuhi kebu-tuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Pada tahap ini anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antara manusia dianggapnya seperti hubungan orang di pasar: tukar-menukar. Hubungan timbal balik antarmanusia adalah masalah saling memberi (do ut des: saya memberi maka kamu juga harus memberi), dan bukannya ma-salah loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan. 2) Tingkat Konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya anak mulai beralih ke tingkat ini antara umur 10 dan 13 tahun. Pada tingkat ini, perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum. Pada tingkat ini kewajiban dan otoritas sangat dijunjung tinggi. Kohlberg menyebut tingkat ini dengan sebutan ‘konvensional’ karena pada tingkat ini anak mulai menyesuaikan (bahasa Latin: convenire) penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya. Pada tingkat ini anak mulai mengerti bahwa memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi ataupun akibatnya. Dalam sikapnya si anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan ha-rapan orang-orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melainkan juga me-naruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan ke-tertiban yang berlaku. Singkatnya, anak mengidentifikasikan diri dengan kelom-pok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat kedua ini mencakup juga dua tahap. Tahap 3: Orientasi Menjadi ‘Anak Manis’ Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompk lain, termasuk sekolah. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil sikap: saya adalah ‘anak manis’ (good boy-nice girl). Artinya, dia adalah sebagaimana diharapkan oleh orang tua, guru, dan sebagainya. Dia ingin bertingkah laku secara ‘wajar’, artinya menurut norma-norma kelompok yang berlaku. Apabila dia me-nyimpang dari norma-norma kelompoknya, dia merasa malu dan bersalah. Pada tahap ini anak untuk pertama kalinya mulai memperhatikan penting-nya ‘maksud’ dari suatu perbuatan. Perbuatan adalah baik jika maksudnya baik. Misalnya, waktu dia membantu ibunya di dapur dengan mencuci piring dan gelas, ada gelas pecah. Dulu perbuatan itu dinilai secara moral buruk karena bisa mendatangkan hukuman. Dalam tahapan perkembang-an moral ketiga ini, perbuatan mencuci piring dan gelas yang berdampak kepada pecahnya gelas dianggap baik, karena di baliknya terdapat suatu maksud yang baik yaitu membantu ibu. Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order) Paham ‘kelompok’ dengan mana anak harus menyesuaikan diri di sini di-perluas, bukan hanya terbatas pada kelompok akrab (kelompok orang-orang yang dikenal oleh anak secara pribadi), tetapi juga kelompok yang lebih abstrak, seperti suku bangsa, negara, agama. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memperta-hankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Dalam kerangka berpikir ini, orang yang melanggar aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosia jelas bersalah. 3) Tingkat Pascakonvensional Kohlberg menyebut tingkat ketiga ini dengan ‘tingkat otonom’ atau ‘tingkat berprinsip’ (principled level). Pada tingkat ketiga ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prindip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak de-ngan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang tum-buh dan mekar dari kebebasan pribadi. Orang muda mulai menyadari bahwa kelompok tidak selamanya benar. Menjadi anggota suatu kelompok tidak meng-hindari bahwa kadang kala dia harus berani mengambil sikapnya sendiri. Ting-kat ketiga ini pun mempunyai dua tahap. Tahap 5: Orientasi kontrak-sosial legalistis Di sini disadari relativisme nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebu-tuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Di samping apa yang disetujui dengan cara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial (berbeda dengan pandangan kaku tentang law and order dalam tahap 4). Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan per-janjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban. Suatu janji harus ditepati juga kalau berkembang menjadi merugikan, karena berasal dari persetu-juan bebas. Tahap 6: Orientasi Prinsip Etika yang Universal Disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok di sini adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesal-an yang mendalam (remorse). Dia mengutuk dirinya sendiri karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Hasil penelitian Kohlberg menun-jukkan bahwa hanya sedikit orang mencapai tahap keenam ini. Keseluruhan hasil penelitian Kohlberg tentang perkembangan moral anak dapat diringkas dalam Tabel 4.5. Tabel 4.5. Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg TINGKAT PERTUMBUHAN TAHAP PERTUMBUHAN PERASAAN TINGKAT PRAMORAL 0-6 Tahun TAHAP 0 Perbedaan antara baik dan buruk belum didasarkan atas kewibawaan atau norma-norma. TINGKAT PRAKONVENSIONAL Perhatian khusus untuk akibat perbuatan: hukuman, ganjaran; motif-motif lahiriah dan partikular. TAHAP 1 Anak berpegang pada kepatuhan dan hukuman. Takut untuk kekuasaan dan berusaha menghindarkan hukuman Takut untuk akibat-akibat negatif dari perbuatan. TINGKAT PRAKONVENSIONAL TAHAP 2 Anak mendasarkan diri atas egoisme naif yang kadang-kadang ditandai relasi timbal-balik: do ut des. TINGKAT KONVENSIONAL Perhatian juga untuk maksud perbuatan: memenuhi harapan, mempertahankan ketertiban. TAHAP 3 Orang berpegang pada keinginan dan persetujuan dari orang lain. TAHAP 4 Orang berpegang pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri. Rasa bersalah terhadap orang lain bila tidak mengikuti tuntutan-tuntutan lahiriah. TINGKAT PASCAKONVENSIONAL atau TINGKAT BERPRINSIP Hidup moral adalah tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip batin: maksud dan akibat-akibat tidak diabaikan motif-motif batin dan universal. TAHAP 5 Orang berpegang pada persetujuan demokratis, kontrak sosial, konsensus bebas. TAHAP 6 Orang berpegang pada hati nurani pribadi, yang ditandai oleh keniscayaan dan universalitas. Penyesalan atau penghukuman diri karena tidak mengikuti pengertian moralnya sendiri. Sifat-sifat yang, menurut hasil penelitian Kohlberg, menandai seluruh perkembangan moral anak adalah sebagai berikut. Sifat pertama adalah bahwa perkembangan tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti, si anak mulai dengan tahap pertama, lalu pindah ke tahap kedua, dan seterusnya. Semua tahap harus dijalani menurut urutan itu. Di sini tidak mungkin meloncat-loncat. Sebagaimana anak kecil sebelum bisa berjalan harus merangkak dulu, demikian juga satu tahap perkembangan moral tidak bisa dimasuki tanpa didahului oleh tahap sebelumnya. Tapi masih tetap berlaku apa yang dikatakan lebih da-hulu, tidak perlu seorang anak untuk seluruh perilaku moralnya berada da-lam suatu tahap tertentu. Bisa saja, secara dominan dia berada dalam suatu tahap, tapi untuk sebagian masih pada tahap sebelumnya atau su-dah pada tahap berikutnya. Sifat kedua adalah bahwa orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap di atas tahap di mana dia berada. Jadi, seorang anak yang berada dalam tahap kedua, sama sekali tidak mengerti penalaran moral dari me-reka yang berada dalam tahap keempat ke atas. Kenyataan ini tentu ber-guna untuk diketahui dalam rangka pendidikan moral. Sifat ketiga adalah bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara berpikir satu tahap di atas tahapnya sendiri. Sebabnya, karena cara berpi-kir tahap berikutnya dapat memecahkan dengan memuaskan dilema moral yang dialami. Jika anak ingin mendapat seluruh kue, sedangkan kakaknya (yang lebih besar dan lebih kuat) juga ingin mendapat seluruh kue, maka dia merasa tertarik pada ide untuk membagikannya, yang merupakan cara berpikir dari tahap lebih tinggi. Ide ini merupakan pemecahan yang baik, karena dalam usaha merebut kue dengan kekerasan pasti dia kalah. Sifat ketiga ini pun mempunyai konsekuensi untuk pendidikan moral. Kohlberg berpendapat bahwa seorang anak dalam perkembangan moralnya akan bertumbuh lebih baik, jika mendapat tantangan dari anak-anak lebih tua yang sudah lebih maju dalam perkembangannya. Karena itu, pendidikan moral dalam kelompok anak-anak yang seumur tidak begitu menguntung-kan. Lebih baik kelompok anak-anak dengan umur yang berbeda. Sifat keempat adalah bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap berikut-nya terjadi bila dialami ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya, orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk meyelesaikan masa-lah atau dilema amoral yang dihadapi. Jika situasinya adalah demikian sehingga tidak ada pemecahan yang memadai, maka dia akan mencari penyelesaian yang lain. Sebaliknya, jika tidak dialami ketidakseimbangan, tidak ada alasan juga untuk berkembang. Dalam contoh tentang kue tadi, jika anak lebih besar dan kuat mau, dia bisa mendapatkan kue itu dengan memaksa pandangan egoistisnya. Hanya jika dia menempatkan diri pada pihak adiknya, dia akan menyadari bahwa dia harus meninjau kembali pandangan egoistis itu. Perkembangan moral bisa maju karena ketidakse-imbangan tersebut. Akhirnya bisa dicatat lagi bahwa menurut Kohlberg dari sudut psikologis pun tahap ke-6 adalah tahap yang paling tinggi dan sempurna. Tentu saja, jika kita melihat tahap itu menurut isinya, pasti tahap 6 itu akan dinilai sebagai pun-cak perkembangan moral. Akan tetapi, apabila kita melihat tahap itu menurut bentuknya saja (dalam arti secara psikologis), kita tentu saja harus menarik kesimpulan yang sama. Atas dasar pemikiran itu, menurut Kohlberg, tahap ke-6 harus menjadi tujuan pendidikan moral, walaupun pada kenyataannya hanya sedikit orang yang berhasil mencapai tahap ini. 4. Implikasi Perkembangan Moral Bagi Pendidikan Sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu para anak didik dalam mengembangkan moral mereka, sehingga dapat tumbuh dan ber-kembang menjadi anak didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas secara moral. Desmita (2009) mengemukakan beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru dalam membantu perkembangan moral anak didik, yaitu:  Menyisipkan pendidikan moral dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan (hidden curriculum) sehingga terwujud sebuah sekolah yang bernuansa moral. Di dalam kerangka berpikir ini, guru harus mampu menjadi model tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral. Pendidikan moral yang diberikan sekolah tidak akan efektif, jika guru gagal menjadi model tingkah laku bagi anak didiknya.  Memberikan pendidikan moral secara langsung melalui pendekatan nilai dan sifat selama jangka waktu tertentu. Nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut dapat dipadukan ke dalam kurikulum sekolah. Dalam pendekatan ini, ins-truksi dalam konsep moral tertentu dapat mewujud dalam contoh dan definisi, diskusi kelas dan bermain peran, atau memberikan reward kepa-da anak didik yang berperilaku baik di sekolah dan masyarakat.  Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai. Pende-katan pendidikan moral di sini tidak langsung berfokus kepada upaya membantu anak didik untuk memperoleh kejelasan tentang tujuan hidup dan sesuatu yang bernilai yang mereka cari. Dalam pendekatan klarifikasi nilai, kepada anak didik diberikan pertanyaan atau dilema moral tertentu, dan mereka diharapkan untuk memberikan tanggapan atau reaksi terha-dap pertanyaan atau pun dilema moral yang diajukan kepada mereka. Model pendekatan ini dimaksudkan untuk membantu anak didik menen-tukan nilai mereka sendiri dan menjadi lebih peka terhadap nilai yang dianut orang lain.  Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi setiap anak didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya secara teoritis, tetapi sungguh-sungguh suatu penghayatan yang dikemas dan dikonstruksi dari penga-laman keberagamaan. Dalam kerangka berpikir ini, pendidikan agama yang dilangsungkan di sekolah harus lebih berfokus kepada upaya mem-bantu anak didik untuk mencari pengalaman keberagamaannya. Dengan demikian, yang harus ditekankan di dalam pelajaran agama adalah ajaran dasar agama yang sarat dengan muatan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, seperti keadilan dan kedamaian.  Membantu anak didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pende-katan spiritual parenting, seperti: o Memupuk hubungan sadar anak didik dengan Tuhan melalui doa setiap membuka dan menutup pelajaran. o Menanyakan kepada para anak didik tentang bagaimana Tuhan terlibat dalam kegiatannya setiap hari. o Memberikan penyadaran kepada para anak didik bahwa Tuhan akan selalu membimbing setiap langkah manusia yang memohon dan berserah kepada-Nya. o Meminta anak didik merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka. Hal ini dapat dilakukan guru dengan menjelaskan kepada anak didik bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka bertumbuh atau mendengarkan darah mereka mengalir, namun semuanya itu sungguh-sungguh terjadi dan dialami oleh setiap anak didik. F. Perkembangan Sosial Lihat buku Yusuf & Nani Sugandi..... PENUTUP Secara umum perkembangan anak didik dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek utama, yaitu (a) perkembangan fisik: mencakup pertumbuhan organ tubuh, perubahan dalam cara individu menggunakan tubuhnya, dan perubahan dalam kemampuan fisik; (b) perkembangan kognitif: mengacu kepada perubahan aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pemikiran, ingatan, keterampilan, keterampilan berbahasa, dan pengolahan informasi yang memungkinkan para anak didik memperoleh pengetahuan, memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, dan merencanakan masa depannya sendiri; dan (c) perkembangan psikososial yang merujuk kepada perubahan emosi dan kepribadian serta kemampuan anak didik untuk membangun relasi dengan orang lain dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas tanpa kehilangan jati dirinya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan kepribadian anak, baik dalam cara berpikir dan bersikap maupun dalam cara bertutur dan berperilaku. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut adalah berbagai upaya dapat dilakukan sekolah:  Membelajarkan berbagai keterampilan fisik kepada anak didik untuk bermain dan berolahraga, seperti loncat tali, senam pagi, bermain sepak bola, dan berenang.  Memberikan pengajaran dan bimbingan kepada anak didik tentang kemandirian, terlepas dari berbagai pengaruh luar dalam merencanakan dan melakukan sesuatu untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. • Memberikan pengajaran tentang perkembangan dan perubahan fisik remaja dan membimbing anak didik untuk menghormati postur tubuhnya dan menerima kondisi dirinya, lengkap dengan segala kekuatan dan kelemahannya;  Memberikan pengajaran dan bimbingan kepada anak didik tentang sikap hidup sehat, seperti mengembangkan kebiasaan menjaga kesehatan badan dan mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelamin dan menerima diri apa adanya. • Memberikan pengajaran dan bimbingan kepada anak didik tentang berbagai keterampilan sosial dan hidup demokratis; • Menciptakan situasi dan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan emosional anak didik; • Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk aktif dalam berbagai kegiatan kelompok seperti OSIS; • Bersama anak didik mendiskusikan masalah peranan sosial pria atau wanita dalam masyarakat; • Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bertanya dan menyampaikan pendapat; • Membantu anak didik mengembangkan rasa percaya diri; • Mengembangkan sikap positif anak didik terhadap dunia kerja dan berbagai lembaga sosial-kemasyarakatan; • Memberikan informasi kepada anak didik tentang dunia kerja dan cara-cara memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuan; • Memberikan bimbingan kepada anak didik tentang cara-cara mengambil keputusan dan mengatasi masalah yang dihadapi; • Bersama anak didik mendiskusikan masalah-masalah kenakalan remaja dan dampaknya terhadap kehidupan bersama serta cara-cara menanggulanginya; • Secara rutin menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, diskusi dan seminar-seminar keagamaan; • Bekerja sama dengan orang tua/wali dalam membimbing dan mengarahkan anak didik kepada hal-hal yang positif. Untuk dapat menghadapi dan membelajarkan anak didik dengan berbagai latar belakang dan tingkat perkembangan yang sangat bervariasi, sekolah (terlebih khusus guru-guru) perlu mengenal secara lebih mendalam tentang berba-gai hal yang berkaitan dengan anak didiknya, antara lain: kemampuan awal yang dimiliki (entry behavior), motivasi belajar, dan latar belakang sosial ekonomi anak didik. Kesiapan guru-guru dalam mengenal karakteristik anak didik dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Ali, M. & Asrori, M. 2011. Psikologi Remaja. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Gramedia. Burns, R. 1982. Self–Concept Development and Education. London: Holt, Rinehard and Wilson. Cawagas, V. F. 1983. Self-Concept as A Non-Intellectual Factor of School Performance, dalam DLSU Graduate School Journal, Vol. 1 No.1. Manila: De La Salle University. Danim, S. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya. Hastuti. 2012. Psikologi Perkembangan Anak. Yogyakarta: Tugu Publisher. Havighurst, R. J. 1961. Human Development & Education. New York: McKay, Co. Hurlock, E. 1950. Child Development. New York: McGraw Hill Book Company, Inc. Johnson, D. W. 1970. The Social Psychology of Education. New York: Holt Rinehart and Winston, Inc. Kohlberg, L. 1969. State and Sequence. The Cognitive Development Approach to Socialization in D. A. Gostin. Chicago: Handbook of Socialization Theory and Research. Lerner, R. M. & Hultsch, D. F. 1983. Human Development: A Life Span Perspective. California: Brooks/Cole Publishing Company. Magnis-Suseno, F. 1989. Etika Sosial. Jakarta: Gramedia. McDevitt, T. M. & Ormrod, J. E. 2002. Child Development and Education. New Jersey: Merril Prentice Hall. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosdakarya. Papalia, D.E; Old, S.W; & Feldman, R.D. 2008. Human Development. New York: McGraw Hill. Piaget, J. 1962. The Moral Judgement of the Child. Translated by Marjorie Gebain. New York: Collier Books. Pudjijogyanti, C. R. 1993. Konsep Diri dalam Pendidikan. Jakarta: Arcan. Rifai, M. S. S. 1982. Tugas-Tugas Perkembangan dalam Rangka Bimbingan dan Perawatan Anak. Bandung: PKK IKIP Bandung. Sagala, H. S. 2008. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Santrock, J. W. 1998. Adolescence. Boston: McGraw-Hill. Santrock, J. W. 2004. Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Company, Inc. Sartre, J. P. 1965. Essays in Existentialism. New Jersey: The Citadel Press. Seifert, K. L & Hoffnung, R. J. 1994. Child and Adolescent Development. Boston: Houghton Mifflin Company. Sigelman, C.K. & Shaffer, D. R. 1995. Life Span Human Development. California: Brooks/Cole Publishing Company Sumantri, M. & Syaodih, N. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Syaodih, N. & Surya, M. 1975. Pengantar Psikologi. Bandung: IKIP Bandung. Tirtarahardja, U. dan La Sulo, S. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Travers, P. D.& Rebore, R. W. 1990. Foundation of Education. Becoming A Teacher. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Vasta, R.; Haith, M.M. & Miller, S.A. 1992. Child Psychology. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Velasques, M. G. 1998. Business Ethics. New Jersey: Prentice Hall. Woolfolk, A.E. 1993. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Woolfolk, A.E. 1995. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Yusuf LN, S. & Sugandhi, N. M. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada. Yusuf, S. 2009. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

1 komentar:

  1. Baccarat - Online Casino Games – Online Casinos - Worrione
    Baccarat is a game played 샌즈카지노 in four different settings 메리트 카지노 with five cards. worrione The player must bet against the dealer, the person must be on the correct

    BalasHapus